Siapa Tokoh yang Anda Anggap Paling Mampu Perbaiki Kualitas Pelayanan Publik Jika Memimpin Asahan? lihat disini!!
Rabu, 11 Agustus 2010
Beredar Lagu Anti Korupsi Dikalangan Fesbuker Asahan
Advokasi mendorong sebuah perubahan untuk Asahan Bersih ternyata dapat dilakukan dengan berbagai cara.Selain demonstrasi, menulis opini, serta counter drafting kebijakan dan sebagainya, bisa juga antara lain dengan menulis lagu-lagu penggugah.Lagu-lagu penggugah tersebut dapat diperdengarkan sebagai ringback tone, dinyanyikan pada saat melakukan berbagai public event s.d sebuah koser musik.Tujuannya adalah untuk mengguah kesadaran publik sehubungan dengan isue yang diangkat dalam lagu. Beberapa minggu ini beredar video klip dan lagu anti korupsi di kalangan Fesbuker Asahan, yang diberi judul "Untuk Asahan Bersih".
Baca Selanjutnya......
Sabtu, 08 Mei 2010
Chongbie & Secangkir Kopi Politik**
Jika anda merindukan kopi paling panas dan kental di kota Kisaran, carilah di Warung Kopi Chongbie. Soalnya kopi disitu tidak hanya diracik dengan bahan dasar kopi pahit dan pekat, tetapi sebelum meminumnya [harus] ditambah rempah bumbu politik. Begitulah gambaran Chongbie, warung kopi di sudut kota Kisaran yang sudah berdiri sejak tahun 50-an.
Ini termasuk "Warung Kopi Politik" tertua di Kota Kisaran, tepatnya terletak dititik pertemuan Jln Imam Bonjol dan Cokroaminoto, persis di depan tugu prjuangan Kisaran. Berukuran lebih kurang 4x 10 M2, menyediakan minuman panas, seperti teh, kopi dan kopi susu, juga makanan ringan sebagai teman minumnya. Bagi yang suka dengan telur ayam kampung setengah matang, juga ada. Jumlah pembayaran dihitung masih menggunakan cipoa, bukan kalkulator sehingga terasa sekali nuansa klasik-nya.
Entah sejak kapan warung ini disebut "Chongbie'. Diperkirakan Chongbie adalah nama pemilik asli yang pertama mendirikan usaha tersebut sekitar tahun 1950-an. Sebelum berubah menjadi warung kopi, konon Chongbie adalah sebuah Losmen. Sampai sekarang sudah memasuki beberapa generasi yang mengelolanya menjadi warung kopi, yaitu Cik Ahi. Nama resmi warung yang tertera adalah SUMBER BARU, terpampang di plang kayu warna dasar biru.
Uniknya, karena letaknya yang berada dipersimpangan dua jalan utama dan tempat strategis untuk mahsiswa dan para aktifis melakukan aksi dan bagi2 selebaran/orasi, Warung Kopi Chongbie ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah pergerakan dan dinamika politik di Asahan dari masa ke masa. Tidak hanya Mahasiswa dan LSM, konon elit politik seperti Risuddin, Taufan Gama, Syamsul Bahri Batubara, sesekali menyempatkan singgah dan minum "kopi politik" di Warung Chongbie ini. Bahkan untuk tokoh pers seperti Nurkarem Nehe serta tokoh2 generasi muda seprti Hidayat Taufiq, warung Chongbie sudah seperti "rumah kedua" bagi mereka untuk menikmati kental dan panasnya kopi.
Biasanya Chongbie sudah mulai ramai pengunjung antara pukul 7 s.d. 10 pagi, mereka tidak hanya menikmati kopi atau kopi susu Chongbie, tetapi juga berdiskusi secara informal mengenai situasi sosial politik terkini yang sedang menjadi isue hangat bahkan panas. Maka jangan heran jika suasana warung kadang gaduh dan ribut dengan perdebatan layaknya ruang paripurna dewan. Untuk ice breaking, sesekali diselingi "hiburan" dengan membahas seputar thema-thema perempuan sebagai sumber inspirasi para laki-laki.
Mengulas tentang warung kopi Chongbie ini, di Philipina ada "Cafe Conspiracy". Sama persis, ia menjadi tempat berkumpulnya berbagai aktifis, elit politik, dan Jurnalis. Tidak hanya dari Philipina, tetapi dari berbagai negara. Hanya saja, bedanya, Cafe Conspiracy dibentuk dengan dsign konsep yang memang sengaja diperuntukan sebagai tempat bertemu [centre point] para aktifis, dan merupakan bagian dari upaya membangun fund rissing bagi LSM disana. Sedangkan Chongbie menjadi seperti sekarang ini karena sebuah proses alamiah saja.
Fenomena Chongbie bagi saya menunjukkan adanya budaya dialog dan diskursus yang kuat dalam tatanan masyarakat kelas menengah atas di Asahan. Ini adalah modal yang bernilai positif dan perlu terus dikembangkan untuk mendukung proses pendidikan politik dan demokrasi di Asahan. Sebab budaya dialog dan diskursus yang dikelola secara baik dapat menjadi salah satu jaring pengaman untuk mencegah terjadinya konflik horisontal dan vertikal.
**tulisan ini diolah dari berbagai sumber.
Ilustrasi Photo; Suasana di Chongbie. Tampak para elit politik berkumpul dan bersikusi serius. Photo diambil oleh FBr Asahan : Awaludin, sumber:http://www.facebook.com/profile.php?id=100000277707997&ref=profile#!/photo.php?pid=315224&id=1821644690 Baca Selanjutnya......
Ini termasuk "Warung Kopi Politik" tertua di Kota Kisaran, tepatnya terletak dititik pertemuan Jln Imam Bonjol dan Cokroaminoto, persis di depan tugu prjuangan Kisaran. Berukuran lebih kurang 4x 10 M2, menyediakan minuman panas, seperti teh, kopi dan kopi susu, juga makanan ringan sebagai teman minumnya. Bagi yang suka dengan telur ayam kampung setengah matang, juga ada. Jumlah pembayaran dihitung masih menggunakan cipoa, bukan kalkulator sehingga terasa sekali nuansa klasik-nya.
Entah sejak kapan warung ini disebut "Chongbie'. Diperkirakan Chongbie adalah nama pemilik asli yang pertama mendirikan usaha tersebut sekitar tahun 1950-an. Sebelum berubah menjadi warung kopi, konon Chongbie adalah sebuah Losmen. Sampai sekarang sudah memasuki beberapa generasi yang mengelolanya menjadi warung kopi, yaitu Cik Ahi. Nama resmi warung yang tertera adalah SUMBER BARU, terpampang di plang kayu warna dasar biru.
Uniknya, karena letaknya yang berada dipersimpangan dua jalan utama dan tempat strategis untuk mahsiswa dan para aktifis melakukan aksi dan bagi2 selebaran/orasi, Warung Kopi Chongbie ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah pergerakan dan dinamika politik di Asahan dari masa ke masa. Tidak hanya Mahasiswa dan LSM, konon elit politik seperti Risuddin, Taufan Gama, Syamsul Bahri Batubara, sesekali menyempatkan singgah dan minum "kopi politik" di Warung Chongbie ini. Bahkan untuk tokoh pers seperti Nurkarem Nehe serta tokoh2 generasi muda seprti Hidayat Taufiq, warung Chongbie sudah seperti "rumah kedua" bagi mereka untuk menikmati kental dan panasnya kopi.
Biasanya Chongbie sudah mulai ramai pengunjung antara pukul 7 s.d. 10 pagi, mereka tidak hanya menikmati kopi atau kopi susu Chongbie, tetapi juga berdiskusi secara informal mengenai situasi sosial politik terkini yang sedang menjadi isue hangat bahkan panas. Maka jangan heran jika suasana warung kadang gaduh dan ribut dengan perdebatan layaknya ruang paripurna dewan. Untuk ice breaking, sesekali diselingi "hiburan" dengan membahas seputar thema-thema perempuan sebagai sumber inspirasi para laki-laki.
Mengulas tentang warung kopi Chongbie ini, di Philipina ada "Cafe Conspiracy". Sama persis, ia menjadi tempat berkumpulnya berbagai aktifis, elit politik, dan Jurnalis. Tidak hanya dari Philipina, tetapi dari berbagai negara. Hanya saja, bedanya, Cafe Conspiracy dibentuk dengan dsign konsep yang memang sengaja diperuntukan sebagai tempat bertemu [centre point] para aktifis, dan merupakan bagian dari upaya membangun fund rissing bagi LSM disana. Sedangkan Chongbie menjadi seperti sekarang ini karena sebuah proses alamiah saja.
Fenomena Chongbie bagi saya menunjukkan adanya budaya dialog dan diskursus yang kuat dalam tatanan masyarakat kelas menengah atas di Asahan. Ini adalah modal yang bernilai positif dan perlu terus dikembangkan untuk mendukung proses pendidikan politik dan demokrasi di Asahan. Sebab budaya dialog dan diskursus yang dikelola secara baik dapat menjadi salah satu jaring pengaman untuk mencegah terjadinya konflik horisontal dan vertikal.
**tulisan ini diolah dari berbagai sumber.
Ilustrasi Photo; Suasana di Chongbie. Tampak para elit politik berkumpul dan bersikusi serius. Photo diambil oleh FBr Asahan : Awaludin, sumber:http://www.facebook.com/profile.php?id=100000277707997&ref=profile#!/photo.php?pid=315224&id=1821644690 Baca Selanjutnya......
Minggu, 24 Januari 2010
Bocah 9 Thn ditemukan tewas dibunuh & dibakar di Air Joman: Budaya Kekerasan Mangancam?
Sabtu pagi (23/1/2010) warga Air Joman, Asahan geger! Seorang bocah perempuan 9 tahun ditemkan tewas mengenaskan di area perkebunan kelapa sawit. Bocah tersebut adalah anak dari pasangan Ijuri Nduru dan Aderia, warga perantauan asal Nias. Grendi, kaka kandung korban, sebagaimana dikutip detikDotCom menuturkan jenazah korban ditemukan salah seorang pekerja perkebunan pada Sabtu pagi.
"Seterusnya dilaporkan ke polisi dan informasi sampai kepada keluarga," ujar Grendi.
Pihak keluarga dibantu jajaran Polres Asahan telah membawa jenazah korban ke Pirngadi Medan guna menjalani otopsi demi kepentingan penyelidikan. Selain itu, Pihak kepolisian juga masih mengusut kasus ini. Sebelumnya bocah tersebut dinyatakan hilang pada, Minggu 10 Januari lalu saat ikut bersama kedua orangtuanya ke gereja, tidak jauh dari tempat tinggal korban. namun setelah itu menghilang tidak diketahui rimbanya, dan Sabtu pagi ditemukan tewas mengenaskan. [Tim SeputarAsahan
sumber photo ilustrasi: http://www.sripoku.com/foto/berita/2009/11/5/pembunuhan3.jpg
Baca Selanjutnya......
"Seterusnya dilaporkan ke polisi dan informasi sampai kepada keluarga," ujar Grendi.
Pihak keluarga dibantu jajaran Polres Asahan telah membawa jenazah korban ke Pirngadi Medan guna menjalani otopsi demi kepentingan penyelidikan. Selain itu, Pihak kepolisian juga masih mengusut kasus ini. Sebelumnya bocah tersebut dinyatakan hilang pada, Minggu 10 Januari lalu saat ikut bersama kedua orangtuanya ke gereja, tidak jauh dari tempat tinggal korban. namun setelah itu menghilang tidak diketahui rimbanya, dan Sabtu pagi ditemukan tewas mengenaskan. [Tim SeputarAsahan
sumber photo ilustrasi: http://www.sripoku.com/foto/berita/2009/11/5/pembunuhan3.jpg
Baca Selanjutnya......
Internet dan Kultur Keberaksaraan
Oleh : Sukron Abdilah
KabarIndonesia [06/07/08]- Ketika perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tidak semaju seperti saat ini, orientasi para penulis hanya tertuju pada satu tekad. Artikel atau tulisannya harus dipublikasikan di media cetak seperti Koran, majalah, buletin, tabloid dan penerbitan buku. Namun, ketika zaman mulai bergulir ke arah virtualitas, masyarakat membutuhkan kecepatan mengakses informasi. Maka di era cyber ini banyak cara agar gagasan bisa diakses masyarakat. Tidak hanya di media cetak saja! Jika seorang dosen atau mahasiswa berkeinginan kuat gagasannya bisa dikritisi, direspon, dan dikonsumsi secara cepat individu yang lain. Caranya dengan membuat laman situs personal (blog), baik yang gratis atau yang menggunakan domain berbayar (co.id, net, org, com atau web.id). Dengan media yang memanfaatkan akses internet, mereka bisa mempublikasikan artikel, makalah, dan curahan ide lainnya secara cepat.
Zaman sekarang, telah ada gadget yang berfungsi sebagai komputer, HP, Televisi, MP3, Video, Radio, dan lain-lain. Kemudian dengan kemudahan akses internet dan tersedia web hosting gratisan, setiap individu mampu menciptakan, mencari, mengelola, dan menyebarkan pelbagai informasi. Melaui perangkat yang disediakan internet – misalnya lewat aktivitas ngeblog – setiap individu mengelola media secara mandiri. Dia menjadi seorang reporter, sekaligus menjadi pemilik media dan editor dalam menyajikan informasi kepada khalayak. Pesaing Utama Tak bisa disangkal bahwa kemajuan teknologi komunikasi terutama internet sebagai media komunikasi pada paruh awal abad 21 ini memang terasa pesat. Kemajuan teknologi komputer, kemudahan akses internet, dan kecanggihan teknologi seluler, membuat media massa mengarah pada satu konvergensi. Alhasil, kehadiran media online di internet yang lebih interaktif dan demokratis kian menjamur. Dengan teknologi internet nirkabel respon media semakin mengarah pada
bentuk media yang portable dan interaktif.
Di abad konvergensi ini media massa (cetak) memiliki pesaing utama dari personal media (Me Media), dan ketika personal media melakukan networking dengan personal media lain (misalnya saling memasang link di weblog) dia menjadi media yang dimassalkan (We Media). Maka untuk konteks abad konvergensi, media massa (mass media) ternyata sudah usang (obsolote), karena yang terjadi adalah the masses of media.
Individu “melek internet” tiba-tiba saja posisinya tidak lagi (hanya) menjadi konsumen infromasi (information consumer) yang pasif, akan tetapi aktif sebagai produsen informasi (information producer). Istilahnya adalah “prosumen” atau produser plus konsumen. Individu yang mengelola Me media dan We media, ia bisa melakukan digital social networking. Semacam aktivitas menyebarkan ide-gagasan atau informasi ke belahan pelosok sehingga bisa diakses oleh individu lain yang memiliki perhatian sama.
Aktivitas ngeblog (blogging), umpamanya, merupakan praktik seorang individu yang mengelola Me media dan ketika ia melakukan jejaring sosial dalam sebuah komunitas, tentunya sedang menciptakan We media. Ketika alamat website atau blog yang berisi postingan artikel dikunjungi dan membuat link alamat webnya, itu adalah wujud dari berubahnya Me media menuju We media. Dari yang tadinya hanya dinikmati segelintir orang, bisa dinikmati puluhan orang. Satu Visi: “kultur keberaksaraan” Beberapa media cetak di Indonesia , telah membuat versi online sehingga mudah diakses masyarakat menengah yang “melek internet”. Hal ini tentunya bisa menjembatani kesenjangan informasi antar dua lintas generasi. Satu generasi yang masih mencari informasi dari media cetak, dan satu lagi adalah generasi yang mencari informasi aktual dari dunia “maya” atau internet. Maka, dengan diluncurkannya edisi online oleh perusahaan pers adalah respon kreatif terhadap kemajuan ranah teknologis dan berusaha menjembatani keberbedaan cara mencari informasi. Antargenerasi satu visi! Ya, satu visi yakni menghidupkan “kultur keberaksaraan” di tubuh masyarakat kendati berbeda generasi (tua-muda).
Apalagi, hampir setiap media cetak yang di-online-kan melalui internet memfasilitasi para penulis lepas dan pewarta sipil (citizen journalism) untuk menghadirkan informasi, opini, pendapat dan berita yang tidak diperoleh wartawan media cetak. Maka, dengan memberikan ruang kepada pewarta sipil dan penulis lepas mengisi rubrik yang disediakan versi online, ini akan menghidupkan tradisi keberaksaraan di Indonesia. Sebab, ketika seseorang harus mengumpulkan, mengolah dan menyajikan informasi untuk publik atau komunitasnya secara online, ia harus terbiasa dengan tradisi membaca dan menulis.Apalagi di dunia jurnalistik, sekarang pencari berita tidak hanya yang memperoleh kartu pers dari media cetak saja. Seluruh warga dari berbagai profesi bisa aktif menulis isu-isu hyperlocal sehingga bisa menerobos kerumunan ruang dan waktu. Mereka disebut sebagai citizen journalism atau participatory journalism.
Citizen journalism atau participatory journalism, merupakan upaya penyajian informasi atas isu-isu hyperlocal yang dilakukan individu (Me media dan We Media) karena tidak bisa dijangkau media massa . Mereka menantang dan menggugat nilai-nilai jurnalistik lama, bahwa news harus diselaraskan dengan visi-misi media cetak karena posisi redaktur dan pemilik modal adalah the man who know much. Ketika pewarta sipil tidak diberikan ruang berekspresi, saya pikir akan jadi ancaman bagi eksistensi perusahaan pers yang mengandalkan kekuatan media cetak an sich.
Penulis adalah Mantan Ketua Lembaga Pers Ikatan (LPI) PC. IMM Kota Bandung ,
Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung .
sumber photo ilustrasi: http://klubguru.com/content/data/upimages/pasuruan-gurulatihaninternet-2.jpg
Baca Selanjutnya......
KabarIndonesia [06/07/08]- Ketika perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tidak semaju seperti saat ini, orientasi para penulis hanya tertuju pada satu tekad. Artikel atau tulisannya harus dipublikasikan di media cetak seperti Koran, majalah, buletin, tabloid dan penerbitan buku. Namun, ketika zaman mulai bergulir ke arah virtualitas, masyarakat membutuhkan kecepatan mengakses informasi. Maka di era cyber ini banyak cara agar gagasan bisa diakses masyarakat. Tidak hanya di media cetak saja! Jika seorang dosen atau mahasiswa berkeinginan kuat gagasannya bisa dikritisi, direspon, dan dikonsumsi secara cepat individu yang lain. Caranya dengan membuat laman situs personal (blog), baik yang gratis atau yang menggunakan domain berbayar (co.id, net, org, com atau web.id). Dengan media yang memanfaatkan akses internet, mereka bisa mempublikasikan artikel, makalah, dan curahan ide lainnya secara cepat.
Zaman sekarang, telah ada gadget yang berfungsi sebagai komputer, HP, Televisi, MP3, Video, Radio, dan lain-lain. Kemudian dengan kemudahan akses internet dan tersedia web hosting gratisan, setiap individu mampu menciptakan, mencari, mengelola, dan menyebarkan pelbagai informasi. Melaui perangkat yang disediakan internet – misalnya lewat aktivitas ngeblog – setiap individu mengelola media secara mandiri. Dia menjadi seorang reporter, sekaligus menjadi pemilik media dan editor dalam menyajikan informasi kepada khalayak. Pesaing Utama Tak bisa disangkal bahwa kemajuan teknologi komunikasi terutama internet sebagai media komunikasi pada paruh awal abad 21 ini memang terasa pesat. Kemajuan teknologi komputer, kemudahan akses internet, dan kecanggihan teknologi seluler, membuat media massa mengarah pada satu konvergensi. Alhasil, kehadiran media online di internet yang lebih interaktif dan demokratis kian menjamur. Dengan teknologi internet nirkabel respon media semakin mengarah pada
bentuk media yang portable dan interaktif.
Di abad konvergensi ini media massa (cetak) memiliki pesaing utama dari personal media (Me Media), dan ketika personal media melakukan networking dengan personal media lain (misalnya saling memasang link di weblog) dia menjadi media yang dimassalkan (We Media). Maka untuk konteks abad konvergensi, media massa (mass media) ternyata sudah usang (obsolote), karena yang terjadi adalah the masses of media.
Individu “melek internet” tiba-tiba saja posisinya tidak lagi (hanya) menjadi konsumen infromasi (information consumer) yang pasif, akan tetapi aktif sebagai produsen informasi (information producer). Istilahnya adalah “prosumen” atau produser plus konsumen. Individu yang mengelola Me media dan We media, ia bisa melakukan digital social networking. Semacam aktivitas menyebarkan ide-gagasan atau informasi ke belahan pelosok sehingga bisa diakses oleh individu lain yang memiliki perhatian sama.
Aktivitas ngeblog (blogging), umpamanya, merupakan praktik seorang individu yang mengelola Me media dan ketika ia melakukan jejaring sosial dalam sebuah komunitas, tentunya sedang menciptakan We media. Ketika alamat website atau blog yang berisi postingan artikel dikunjungi dan membuat link alamat webnya, itu adalah wujud dari berubahnya Me media menuju We media. Dari yang tadinya hanya dinikmati segelintir orang, bisa dinikmati puluhan orang. Satu Visi: “kultur keberaksaraan” Beberapa media cetak di Indonesia , telah membuat versi online sehingga mudah diakses masyarakat menengah yang “melek internet”. Hal ini tentunya bisa menjembatani kesenjangan informasi antar dua lintas generasi. Satu generasi yang masih mencari informasi dari media cetak, dan satu lagi adalah generasi yang mencari informasi aktual dari dunia “maya” atau internet. Maka, dengan diluncurkannya edisi online oleh perusahaan pers adalah respon kreatif terhadap kemajuan ranah teknologis dan berusaha menjembatani keberbedaan cara mencari informasi. Antargenerasi satu visi! Ya, satu visi yakni menghidupkan “kultur keberaksaraan” di tubuh masyarakat kendati berbeda generasi (tua-muda).
Apalagi, hampir setiap media cetak yang di-online-kan melalui internet memfasilitasi para penulis lepas dan pewarta sipil (citizen journalism) untuk menghadirkan informasi, opini, pendapat dan berita yang tidak diperoleh wartawan media cetak. Maka, dengan memberikan ruang kepada pewarta sipil dan penulis lepas mengisi rubrik yang disediakan versi online, ini akan menghidupkan tradisi keberaksaraan di Indonesia. Sebab, ketika seseorang harus mengumpulkan, mengolah dan menyajikan informasi untuk publik atau komunitasnya secara online, ia harus terbiasa dengan tradisi membaca dan menulis.Apalagi di dunia jurnalistik, sekarang pencari berita tidak hanya yang memperoleh kartu pers dari media cetak saja. Seluruh warga dari berbagai profesi bisa aktif menulis isu-isu hyperlocal sehingga bisa menerobos kerumunan ruang dan waktu. Mereka disebut sebagai citizen journalism atau participatory journalism.
Citizen journalism atau participatory journalism, merupakan upaya penyajian informasi atas isu-isu hyperlocal yang dilakukan individu (Me media dan We Media) karena tidak bisa dijangkau media massa . Mereka menantang dan menggugat nilai-nilai jurnalistik lama, bahwa news harus diselaraskan dengan visi-misi media cetak karena posisi redaktur dan pemilik modal adalah the man who know much. Ketika pewarta sipil tidak diberikan ruang berekspresi, saya pikir akan jadi ancaman bagi eksistensi perusahaan pers yang mengandalkan kekuatan media cetak an sich.
Penulis adalah Mantan Ketua Lembaga Pers Ikatan (LPI) PC. IMM Kota Bandung ,
Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung .
sumber photo ilustrasi: http://klubguru.com/content/data/upimages/pasuruan-gurulatihaninternet-2.jpg
Jumat, 15 Januari 2010
Gara-Gara Seragam...
Kolom Budhi Masthuri
http://www.detiknews.com/
Selasa, 12/01/2010
Mana yang harus didahulukan antara prosedur atau substansi? Orang yang memiliki pandangan legalistis formal tentu saja akan memilih utamakan prosedur, sementara kalangan substansialist [sebutlah demikian] akan memilih mendahulukan substansi. Namun barangkali kita semua sepakat dengan postulat bahwa prosedur tanpa substansi adalah tirani, dan sebaliknya substansi tanpa prosdur adalah anarkhi.
Perdebatan yang sama juga terjadi dalam sidang pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen beberapa hari lalu, ketika kehadiran saksi mantan Kabareskrim Polri Kombes Susno Duadji dipersoalkan legalitas formal-nya oleh Jaksa Penuntut Umum karena saat memberikan kesaksian mengenakan seragam Polri. Meskipun belakangan diketahui bahwa kehadiran Susno Duadji memang tanpa pengetahuan dan izin dari pimpinannya.
"Sesuai aturan, apabila polisi bersaksi, dapat menunjukkan surat tugasnya," demikian dipersoalkan Jaksa Penuntut Umum [baca detik.com, 7/01/10]. Namun untuk hal ini, Pengacara Antasari berargumentasi bahwa kesaksian Susno Duadji adalah dalam kapasitas dia sebagai pribadi bukan sebagai anggota Polri.
Tak pelak, setelah itu Susno Duadji-pun menjadi “bulan-bulanan” dari jajaran Pimpinan Polri. Persidangan kode etik-pun akan disiapkan untuk memeriksa dirinya. Sederetan sanksi siap mengancam, bahkan sampai yang terberat berupa pemecatan [detik.com 07/01/10]. Sebelum sidang kode etik benar-benar digelar, dan sanksi benar-benar dijatuhkan, ternyata 'hukuman' terhadap Susno Duadji [seolah] sudah diberikan dengan ditariknya fasilitas supir, ajudan dan pengawalnya. Ini terjadi hanya selang beberapa jam setelah ia memberikan kesaksian, meskipun keesokan harinya hal tersebut disangkal Mabes Polri [detik.com 08/01/10]. Tetapi tetap saja tidak dapat menghapus kesan bahwa rencana persidangan kode etik, ancaman sanksi, dan penarikan fasilitas yang dilakukan terjadi gara-gara “seragam” yang dipakainya saat memberikan kesaksian tanpa seijin pimpinan Polri.
Perdebatan mengenai seragam ini-pun kemudian mengemuka. Apakah seorang pejabat Polri dapat memberikan kesaksian atas nama pribadi dengan menggunakan seragam lengkap? Apakah [meskipun] kesaksiannya diberikan atas nama pribadi, tetapi karena ia memakai seragam maka tetap harus meminta izin kepada pimpinan Polri? Bagaimana jika seorang pejabat Polri yang sedang dalam perjalanan pulang ke rumah setelah bertugas, masih menggunakan seragam, tiba-tiba harus ke rumah sakit untuk menjenguk orang tuanya di rumah sakit? Apakah untuk menjenguk orang tuanya yang sedang sakit tersebut juga memerlukan izin dari pimpinan Polri? Tentu saja pertanyaannya dapat dikembangkan menjadi banyak variasi kemungkinan contoh kasus. Tetapi, yang perlu dicatat adalah, gara-gara perdebatan mengenai seragam, orang-pun [mungkin] akan melupakan substansi kesaksian yang disampaikan oleh Susno Duadji dalam persidangan tersebut.
Terlepas apakah manuver Susno Duadji ini hanyalah semacam exit strategy dari Kepolisian untuk membersihkan namanya atau memang murni untuk membuka kebenaran yang terjadi selama ini. Tetapi substansi kesaksian yang disampaikan tersebut bisa jadi adalah pintu masuk selanjutnya untuk menguak skandal yang lebih besar, dan tidak menutup kemungkinan salah satunya adalah mengenai 'Skandal Bank Century.'
Sikap jajaran pimpinan Polri yang terkesan reaktif tersebut justeru menimbulkan tanda tanya. Apakah sikap ini semata-mata gara-gara seragam yang dikenakan Susno Duadji, atau karena substansi kesaksian yang disampaikannya di depan persidangan? Kalau hanya soal seragam, mengapa masalahnya seolah-olah menjadi sangat penting dan mendesak untuk diproses dalam sidang kode etik yang dapat berujung pada pemberhentian Susno Duadji dari Kepolisian? Padahal, dalam kasus lainnya ada juga Polisi yang menggunakan atribut kepolisian melakukan tindakan diluar prosedural, tetapi pimpinan Polri tidak se-reaktif ini. Ambil contoh misalkan; kasus Bripka Ir, di Lampung yang mengeluarkan pistol saat menagih hutang hingga mengakibatkan seorang ibu hamil keguguran [detik.com 23/12/2009], dan kasus salah tangkap yang disertai pemukulan terhadap JJ Rizal Sejarawan UI [detik.com 6/12/2009].
Tentu kita harus mendukung tindakan Pimpinan Polri untuk menertibkan anggotanya yang melakukan pelanggaran, termasuk sidang kode etik untuk Susno Duadji. Tetapi kita juga berharap sidang kode etik yang nantinya akan digelar tidak hanya sebatas mempersoalkan 'seragam' yang dikenakan Susno Duadji pada saat memberikan kesaksian di persidangan Antasari. Melainkan harus diusut juga sumber dan kebenaran dari substansi kesaksian yang disampaikan olehnya. Sehingga dengan demikian, sidang kode etik yang nantinya akan digelar tetap harus diletakkan dalam kerangka pencarian kebenaran sesungguhnya dari apa yang selama ini terjadi di tubuh Polri. Inilah sebenarnya momentum yang ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia, dan diharapkan dapat menjadi milestone reformasi total ditubuh institusi Kepolisian Republik Indonesia yang sama-sama sangat kita cintai ini.
*) Budhi Masthuri, Koordinator Solidaritas Indonesia Bersih
(asy/asy)
Baca Selanjutnya......
http://www.detiknews.com/
Selasa, 12/01/2010
Mana yang harus didahulukan antara prosedur atau substansi? Orang yang memiliki pandangan legalistis formal tentu saja akan memilih utamakan prosedur, sementara kalangan substansialist [sebutlah demikian] akan memilih mendahulukan substansi. Namun barangkali kita semua sepakat dengan postulat bahwa prosedur tanpa substansi adalah tirani, dan sebaliknya substansi tanpa prosdur adalah anarkhi.
Perdebatan yang sama juga terjadi dalam sidang pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen beberapa hari lalu, ketika kehadiran saksi mantan Kabareskrim Polri Kombes Susno Duadji dipersoalkan legalitas formal-nya oleh Jaksa Penuntut Umum karena saat memberikan kesaksian mengenakan seragam Polri. Meskipun belakangan diketahui bahwa kehadiran Susno Duadji memang tanpa pengetahuan dan izin dari pimpinannya.
"Sesuai aturan, apabila polisi bersaksi, dapat menunjukkan surat tugasnya," demikian dipersoalkan Jaksa Penuntut Umum [baca detik.com, 7/01/10]. Namun untuk hal ini, Pengacara Antasari berargumentasi bahwa kesaksian Susno Duadji adalah dalam kapasitas dia sebagai pribadi bukan sebagai anggota Polri.
Tak pelak, setelah itu Susno Duadji-pun menjadi “bulan-bulanan” dari jajaran Pimpinan Polri. Persidangan kode etik-pun akan disiapkan untuk memeriksa dirinya. Sederetan sanksi siap mengancam, bahkan sampai yang terberat berupa pemecatan [detik.com 07/01/10]. Sebelum sidang kode etik benar-benar digelar, dan sanksi benar-benar dijatuhkan, ternyata 'hukuman' terhadap Susno Duadji [seolah] sudah diberikan dengan ditariknya fasilitas supir, ajudan dan pengawalnya. Ini terjadi hanya selang beberapa jam setelah ia memberikan kesaksian, meskipun keesokan harinya hal tersebut disangkal Mabes Polri [detik.com 08/01/10]. Tetapi tetap saja tidak dapat menghapus kesan bahwa rencana persidangan kode etik, ancaman sanksi, dan penarikan fasilitas yang dilakukan terjadi gara-gara “seragam” yang dipakainya saat memberikan kesaksian tanpa seijin pimpinan Polri.
Perdebatan mengenai seragam ini-pun kemudian mengemuka. Apakah seorang pejabat Polri dapat memberikan kesaksian atas nama pribadi dengan menggunakan seragam lengkap? Apakah [meskipun] kesaksiannya diberikan atas nama pribadi, tetapi karena ia memakai seragam maka tetap harus meminta izin kepada pimpinan Polri? Bagaimana jika seorang pejabat Polri yang sedang dalam perjalanan pulang ke rumah setelah bertugas, masih menggunakan seragam, tiba-tiba harus ke rumah sakit untuk menjenguk orang tuanya di rumah sakit? Apakah untuk menjenguk orang tuanya yang sedang sakit tersebut juga memerlukan izin dari pimpinan Polri? Tentu saja pertanyaannya dapat dikembangkan menjadi banyak variasi kemungkinan contoh kasus. Tetapi, yang perlu dicatat adalah, gara-gara perdebatan mengenai seragam, orang-pun [mungkin] akan melupakan substansi kesaksian yang disampaikan oleh Susno Duadji dalam persidangan tersebut.
Terlepas apakah manuver Susno Duadji ini hanyalah semacam exit strategy dari Kepolisian untuk membersihkan namanya atau memang murni untuk membuka kebenaran yang terjadi selama ini. Tetapi substansi kesaksian yang disampaikan tersebut bisa jadi adalah pintu masuk selanjutnya untuk menguak skandal yang lebih besar, dan tidak menutup kemungkinan salah satunya adalah mengenai 'Skandal Bank Century.'
Sikap jajaran pimpinan Polri yang terkesan reaktif tersebut justeru menimbulkan tanda tanya. Apakah sikap ini semata-mata gara-gara seragam yang dikenakan Susno Duadji, atau karena substansi kesaksian yang disampaikannya di depan persidangan? Kalau hanya soal seragam, mengapa masalahnya seolah-olah menjadi sangat penting dan mendesak untuk diproses dalam sidang kode etik yang dapat berujung pada pemberhentian Susno Duadji dari Kepolisian? Padahal, dalam kasus lainnya ada juga Polisi yang menggunakan atribut kepolisian melakukan tindakan diluar prosedural, tetapi pimpinan Polri tidak se-reaktif ini. Ambil contoh misalkan; kasus Bripka Ir, di Lampung yang mengeluarkan pistol saat menagih hutang hingga mengakibatkan seorang ibu hamil keguguran [detik.com 23/12/2009], dan kasus salah tangkap yang disertai pemukulan terhadap JJ Rizal Sejarawan UI [detik.com 6/12/2009].
Tentu kita harus mendukung tindakan Pimpinan Polri untuk menertibkan anggotanya yang melakukan pelanggaran, termasuk sidang kode etik untuk Susno Duadji. Tetapi kita juga berharap sidang kode etik yang nantinya akan digelar tidak hanya sebatas mempersoalkan 'seragam' yang dikenakan Susno Duadji pada saat memberikan kesaksian di persidangan Antasari. Melainkan harus diusut juga sumber dan kebenaran dari substansi kesaksian yang disampaikan olehnya. Sehingga dengan demikian, sidang kode etik yang nantinya akan digelar tetap harus diletakkan dalam kerangka pencarian kebenaran sesungguhnya dari apa yang selama ini terjadi di tubuh Polri. Inilah sebenarnya momentum yang ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia, dan diharapkan dapat menjadi milestone reformasi total ditubuh institusi Kepolisian Republik Indonesia yang sama-sama sangat kita cintai ini.
*) Budhi Masthuri, Koordinator Solidaritas Indonesia Bersih
(asy/asy)
Baca Selanjutnya......
Budaya Perusahaan yang Baik...
"Hari gini masih bicara budaya?? cape’ deech…” Ungkapan kalimat seperti ini mungkin masih terdengar disekitar kita, dan keluar dari ekspresi sinis mereka yang belum mengerti betapa pentingnya peran budaya dalam setiap kemajuan peradaban umat manusia. Ketika berbicara tentang budaya, dalam benak mereka hanya tergambar bentuk-bentuk purbakala, kuno, primitif, dan jauh dari kesan modern. Seolah mereka lupa bahwa modernitas itu sendiri merupakan hasil dari perkembangan budaya.
Budaya pada dasarnya tidak hanya menjadi monopoli para ahli purbakala, sastrawan, atau pekerja seni. Budaya juga tidak identik dengan sesuatu yang kuno, kolot, atau primitif. Budaya yang baik [seharusnya] juga menjadi bagian dari perangkat nilai yang dianut oleh para pekerja dari tukang sapu sampai direktur utama, baik disektor swasta maupun negara [BUMN]. Inilah yang belakangan sering dilupakan, termasuk ketika kita berbicara tentang kerangka good corporate governance [GCG] atau tata kelola perusahaan yang baik. Kerangka GCG hanya difahami sebagai seperangkat aturan yang harus dipatuhi setiap orang dan tidak jarang menempatkan karyawan sebagai objek semata.
Semangat untuk menerapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dilingkungan BUMN sebenarnya sudah ada sejak era 80-an. Ini bisa kita lihat [setidaknya] dari dua SK Menteri Keuangan RI terkait peningkatan produktivitas dan efisiensi BUMN. Pertama SK No. 740/KMK.00/1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas BUMN, yang berisikan kriteria untuk menilai tingkat kesehatan BUMN; dan kedua adalah SK No. 741/KMK.00/1989 tentang bagaimana seharusnya BUMN menyusun Bisnis Plan [Rencana Kerja]. Meskipun demikian prinsip-prinsip tersebut tampaknya tidak dapat dijalankan secara baik sehingga ketika terjadi krisis moneter tahun 1998 Indonesia menjadi salah satu negara yang ambruk karena fundamental ekonominya tidak mampu menyangga beban krisis. Momentum krisis ekonomi ini digunakan oleh Bank Dunia untuk mendesak Indonesia agar menjalankan prinsip GCG dalam praktek pengelolaan perusanaan baik BUMN maupun swasta. Inilah masa dimana Indonesia mulai [berupaya] menerapkan prinsip-prinsip GCG dalam arti yang sebenarnya.
Ketika itu GCG diyakini sebagai salah satu resep mujarab untuk menggenjot produktifitas sektor usaha [korporat] karena dianggap mampu mencegah terjadinya inefisiensi pada perusahaan BUMN maupun Swasta. Begitu pentingnya GCG ini sampai-sampai Bank Dunia menempatkannya menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kerangka kebijakan pemulihan ekonomi [khususnya] bagi negara-negara yang terkena krisis ekonomi agar mereka dapat segera bangkit dari keterpurukan. Pelembagaan GCG ini-pun dimasukkan dalam satu paket skema pemulihan ekonomi yang ditawarkan IMF melalui penandatanganan Letter of Intent bersamaan dengan pelembagaan Good Governance [GG] disektor pemerintahan. Sejak saat itu pemerintah mulai melembagakan GCG antara lain melalui Keputusan Meneg BUMN No.117/M-MBU/2002 tentang Pengembangan Praktik corporate governance di BUMN.
Meskipun demikian ternyata resep pemulihan yang diberikan IMF untuk Indonesia hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Akibatnya suara-suara kritis terhadap konsep pemulihan ekonomi ala IMF ini [termasuk didalamnya GCG] terdengar semakin lantang, dan bermuara pada keinginan agar Indonesia bisa segera keluar dari program pemulihan IMF dipenghujung tahun 2003 [baca; Kompas:29-05-03]. Setelah beberapa tahun menjadi pasien IMF Indonesia memang masih belum benar-benar dapat bangkit dari keterpurukan. Ini dapat dilihat, misalnya sampai tahun 2006 sedikitnya 20 BUMN masih merugi, enam diantaranya perusahaan besar seperti PLN, Garuda Indonesia, Krakatau Steel, PTPN I, II, dan XIV. [BUMN Online, 10/11/2007]. Bahkan bulan Sptember 2007 PT. Dirgantara Indonesia [PT.DI] dinyatakan bangkrut [Batam Pos, 5/09/2007]. Pada bagian lainnya, korupsi masih merajalela [Kompas 28/03/2003]. Daya saing juga masih rendah karena Indonesia menemati urutan ke 92 dari 108 negara [Pikiran Rakyat, 6/08/2006]. Hasil kajian sejumlah lembaga survei dalam dan luar negeri juga menunjukkan bahwa penerapan GCG di Indonesia [ketika itu] sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari buruknya indeks nilai GCG yang diperoleh. Survei yang dilakukan Credit Lyonnais bahkan mencatat penurunan index nilai GCG Indonesia dari 3,10 pada tahun 2000 menjadi 2,90 tahun 2001 [Bali Pos, 23/01/2003]. Lalu, sebagai sebuah konsep, dimana letak kekurangan GCG sehingga tidak mampu mengangkat Indonesia dari keterpurukan?
Salah satu pendapat yang mengemuka adalah; GCG tidak sepenunya berhasil diterapkan di Indonesia bukan karena konsepnya yang salah, tetapi karena pelaku usaha tidak menempatkan budaya perusahaan [corporate culture] sebagai dasar untuk membangun GCG. Ketika berbicara tentang GCG, yang ada dibenak mereka adalah konsep-konsep manajemen yang mekanik dan hanya bisa diukur dengan parameter-parameter objektif rasional. Padahal ruang lingkup GCG lebih dalam dari sekadar wilayah manajemen. Bila manajemen mengatur hal-hal yang sangat teknis tentang bagaimana perusahaan menggerakkan roda organisasinya untuk mencapai laba, maka GCG menyentuh wilayah yang lebih dalam dari sekadar menggerakkan roda organisasi. Oleh karena itu sebagai kerangka konseptual GCG memerlukan perangkat nilai untuk pondasi agar ia dapat dibangun secara kokoh. Perangkat nilai tersebut adalah good corporate culture [GCC] atau bisa disebut sebagai “budaya perusahaan yang baik”.
Apa itu good corporate culture dan bagaimana implementasinya pada kehidupan sehari-hari dalam penyelenggaraan perusahaan? Sebelum mengulasnya, baik kita fahami apa itu budaya perusahaan. Mengutip pendapat mantan Dirut BRI DR. Djokosantoso Moeljono budaya perusahaan adalah “peramuan” berpola top-middle-bottom, kemudian disemaikan kesetiap sel organisasi dan menjadi nilai-nilai kehidupan bersama yang dapat muncul dalam bentuk perilaku formal maupun informal [Moeljono:2006:58]. Dengan demikian budaya perusahaan adalah landasan filosofis yang pada tingkatan paling dalam diyakini sebagai “agama” oleh orang-orang dalam sebuah organisasi perusahaan. Fungsi budaya perusahaan adalah sebagai sistem nilai yang akan mengikat serta mewarnai sikap dan tingkah laku para pekerja, dari mulai tukang sapu sampai dengan direktur utama. Oleh karena itu, budaya yang dapat dijadikan sebagai pondasi bagi bangunan GCG tentu saja adalah budaya perusahaan yang baik [good corporate culture]. Karena budaya perusahaan yang buruk tidak akan bisa menjadi pondasi GCG. Budaya perusahaan yang baik adalah yang tidak mengabaikan nilai-nilai lokalitas [local wishdom].
Pelaku usaha kadang lupa menggali nilai-nilai budaya lokal [local wishdom] untuk dasar membangun GCG. Padahal prinsip GCG akan bisa dijalankan dengan baik bila ia dibangun diatas pondasi budaya perusahaan yang sarat dengan nila-nilai lokalitas. Tindakan menerima mentah-mentah perangkat GCG tanpa disesuaikan dengan nilai-nilai lokalitas yang hidup dan berkembang disekitar perusahaan mengakibatkan GCG kehilangan makna sejatinya. Barangkali inilah salah satu sebab mengapa sejauh ini GCG belum mampu dilaksanakan secara baik di Indonesia. Seperti diketahui bersama prinsip-prinsip GCG adalah; transparansi, akuntabilitas, responsibility, independensi, dan fairness/kesetaraan. Sebagai sebuah prinsip, aspek tersebut memang bersifat universal. Tetapi masih perlu ditejemahkan dengan menggunakan nilai-nilai lokalitas [local wishdom] yang hidup dan berkembang dimana perusahaan berada. Hasil terjemahan inilah yang kita sebut sebagai budaya perusahaan yang baik atau good corporate culture. Misalnya; perusahaan dapat saja menerapkan prinsip “transparansi” dalam GCG dengan mengambil nilai-nilai budaya “keterbukaan dan kejujuran” yang hidup, berkembang dan dianut dalam lingkungan keluarga Batak. Dalam contoh lain, perusahaan dapat juga mengembangkan nilai-nilai budaya “saling menghargai sesama” yang dianut keluaga Jawa untuk menerapkan prinsip “kesetaraan” dalam GCG, dsb.
Di lingkungan perusahaan perkebunan ex nasionalisasi Belanda [PTPN], menanamkan budaya [baru] sebagai pondasi GCG memang akan menghadapi tantangan tersendiri. Karena pada saat yang sama harus diakui bahwa dalam mindset [benak] sebagian karyawan PTPN sudah [pernah] tertanam nilai-nilai budaya lama yang feodalistis. Meskipun sedikit banyak sudah terjadi perubahan cara pandang, tetapi dalam beberapa hal tentu saja tidak mudah menghapusnya dari mindset mereka. Apalagi kemungkinan [masih] ada Staf atau Manajer yang memelihara budaya tersebut untuk keuntungan dirinya. Persis seperti dahulu ketika Sinder-Sinder Belanda memelihara budaya feodalistik untuk mengontrol karyawan agar tidak melakukan tindakan “subversif” terhadap pimpinan [baca:Stoler:1985]. Namun tantangan tersebut akan mudah dihadapi apabila para pengambil kebijakan di PTPN memiliki mindset perubahan. Seperti dalam buku Rheinald Kasali, “Change!!”, selalu ada waktu untuk melakukan perubahan***
Oleh: Budhi Masthuri
sumber tulisan: Majalah Media Nusatiga, Edisi XIV 2008
Baca Selanjutnya......
Budaya pada dasarnya tidak hanya menjadi monopoli para ahli purbakala, sastrawan, atau pekerja seni. Budaya juga tidak identik dengan sesuatu yang kuno, kolot, atau primitif. Budaya yang baik [seharusnya] juga menjadi bagian dari perangkat nilai yang dianut oleh para pekerja dari tukang sapu sampai direktur utama, baik disektor swasta maupun negara [BUMN]. Inilah yang belakangan sering dilupakan, termasuk ketika kita berbicara tentang kerangka good corporate governance [GCG] atau tata kelola perusahaan yang baik. Kerangka GCG hanya difahami sebagai seperangkat aturan yang harus dipatuhi setiap orang dan tidak jarang menempatkan karyawan sebagai objek semata.
Semangat untuk menerapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dilingkungan BUMN sebenarnya sudah ada sejak era 80-an. Ini bisa kita lihat [setidaknya] dari dua SK Menteri Keuangan RI terkait peningkatan produktivitas dan efisiensi BUMN. Pertama SK No. 740/KMK.00/1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas BUMN, yang berisikan kriteria untuk menilai tingkat kesehatan BUMN; dan kedua adalah SK No. 741/KMK.00/1989 tentang bagaimana seharusnya BUMN menyusun Bisnis Plan [Rencana Kerja]. Meskipun demikian prinsip-prinsip tersebut tampaknya tidak dapat dijalankan secara baik sehingga ketika terjadi krisis moneter tahun 1998 Indonesia menjadi salah satu negara yang ambruk karena fundamental ekonominya tidak mampu menyangga beban krisis. Momentum krisis ekonomi ini digunakan oleh Bank Dunia untuk mendesak Indonesia agar menjalankan prinsip GCG dalam praktek pengelolaan perusanaan baik BUMN maupun swasta. Inilah masa dimana Indonesia mulai [berupaya] menerapkan prinsip-prinsip GCG dalam arti yang sebenarnya.
Ketika itu GCG diyakini sebagai salah satu resep mujarab untuk menggenjot produktifitas sektor usaha [korporat] karena dianggap mampu mencegah terjadinya inefisiensi pada perusahaan BUMN maupun Swasta. Begitu pentingnya GCG ini sampai-sampai Bank Dunia menempatkannya menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kerangka kebijakan pemulihan ekonomi [khususnya] bagi negara-negara yang terkena krisis ekonomi agar mereka dapat segera bangkit dari keterpurukan. Pelembagaan GCG ini-pun dimasukkan dalam satu paket skema pemulihan ekonomi yang ditawarkan IMF melalui penandatanganan Letter of Intent bersamaan dengan pelembagaan Good Governance [GG] disektor pemerintahan. Sejak saat itu pemerintah mulai melembagakan GCG antara lain melalui Keputusan Meneg BUMN No.117/M-MBU/2002 tentang Pengembangan Praktik corporate governance di BUMN.
Meskipun demikian ternyata resep pemulihan yang diberikan IMF untuk Indonesia hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Akibatnya suara-suara kritis terhadap konsep pemulihan ekonomi ala IMF ini [termasuk didalamnya GCG] terdengar semakin lantang, dan bermuara pada keinginan agar Indonesia bisa segera keluar dari program pemulihan IMF dipenghujung tahun 2003 [baca; Kompas:29-05-03]. Setelah beberapa tahun menjadi pasien IMF Indonesia memang masih belum benar-benar dapat bangkit dari keterpurukan. Ini dapat dilihat, misalnya sampai tahun 2006 sedikitnya 20 BUMN masih merugi, enam diantaranya perusahaan besar seperti PLN, Garuda Indonesia, Krakatau Steel, PTPN I, II, dan XIV. [BUMN Online, 10/11/2007]. Bahkan bulan Sptember 2007 PT. Dirgantara Indonesia [PT.DI] dinyatakan bangkrut [Batam Pos, 5/09/2007]. Pada bagian lainnya, korupsi masih merajalela [Kompas 28/03/2003]. Daya saing juga masih rendah karena Indonesia menemati urutan ke 92 dari 108 negara [Pikiran Rakyat, 6/08/2006]. Hasil kajian sejumlah lembaga survei dalam dan luar negeri juga menunjukkan bahwa penerapan GCG di Indonesia [ketika itu] sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari buruknya indeks nilai GCG yang diperoleh. Survei yang dilakukan Credit Lyonnais bahkan mencatat penurunan index nilai GCG Indonesia dari 3,10 pada tahun 2000 menjadi 2,90 tahun 2001 [Bali Pos, 23/01/2003]. Lalu, sebagai sebuah konsep, dimana letak kekurangan GCG sehingga tidak mampu mengangkat Indonesia dari keterpurukan?
Salah satu pendapat yang mengemuka adalah; GCG tidak sepenunya berhasil diterapkan di Indonesia bukan karena konsepnya yang salah, tetapi karena pelaku usaha tidak menempatkan budaya perusahaan [corporate culture] sebagai dasar untuk membangun GCG. Ketika berbicara tentang GCG, yang ada dibenak mereka adalah konsep-konsep manajemen yang mekanik dan hanya bisa diukur dengan parameter-parameter objektif rasional. Padahal ruang lingkup GCG lebih dalam dari sekadar wilayah manajemen. Bila manajemen mengatur hal-hal yang sangat teknis tentang bagaimana perusahaan menggerakkan roda organisasinya untuk mencapai laba, maka GCG menyentuh wilayah yang lebih dalam dari sekadar menggerakkan roda organisasi. Oleh karena itu sebagai kerangka konseptual GCG memerlukan perangkat nilai untuk pondasi agar ia dapat dibangun secara kokoh. Perangkat nilai tersebut adalah good corporate culture [GCC] atau bisa disebut sebagai “budaya perusahaan yang baik”.
Apa itu good corporate culture dan bagaimana implementasinya pada kehidupan sehari-hari dalam penyelenggaraan perusahaan? Sebelum mengulasnya, baik kita fahami apa itu budaya perusahaan. Mengutip pendapat mantan Dirut BRI DR. Djokosantoso Moeljono budaya perusahaan adalah “peramuan” berpola top-middle-bottom, kemudian disemaikan kesetiap sel organisasi dan menjadi nilai-nilai kehidupan bersama yang dapat muncul dalam bentuk perilaku formal maupun informal [Moeljono:2006:58]. Dengan demikian budaya perusahaan adalah landasan filosofis yang pada tingkatan paling dalam diyakini sebagai “agama” oleh orang-orang dalam sebuah organisasi perusahaan. Fungsi budaya perusahaan adalah sebagai sistem nilai yang akan mengikat serta mewarnai sikap dan tingkah laku para pekerja, dari mulai tukang sapu sampai dengan direktur utama. Oleh karena itu, budaya yang dapat dijadikan sebagai pondasi bagi bangunan GCG tentu saja adalah budaya perusahaan yang baik [good corporate culture]. Karena budaya perusahaan yang buruk tidak akan bisa menjadi pondasi GCG. Budaya perusahaan yang baik adalah yang tidak mengabaikan nilai-nilai lokalitas [local wishdom].
Pelaku usaha kadang lupa menggali nilai-nilai budaya lokal [local wishdom] untuk dasar membangun GCG. Padahal prinsip GCG akan bisa dijalankan dengan baik bila ia dibangun diatas pondasi budaya perusahaan yang sarat dengan nila-nilai lokalitas. Tindakan menerima mentah-mentah perangkat GCG tanpa disesuaikan dengan nilai-nilai lokalitas yang hidup dan berkembang disekitar perusahaan mengakibatkan GCG kehilangan makna sejatinya. Barangkali inilah salah satu sebab mengapa sejauh ini GCG belum mampu dilaksanakan secara baik di Indonesia. Seperti diketahui bersama prinsip-prinsip GCG adalah; transparansi, akuntabilitas, responsibility, independensi, dan fairness/kesetaraan. Sebagai sebuah prinsip, aspek tersebut memang bersifat universal. Tetapi masih perlu ditejemahkan dengan menggunakan nilai-nilai lokalitas [local wishdom] yang hidup dan berkembang dimana perusahaan berada. Hasil terjemahan inilah yang kita sebut sebagai budaya perusahaan yang baik atau good corporate culture. Misalnya; perusahaan dapat saja menerapkan prinsip “transparansi” dalam GCG dengan mengambil nilai-nilai budaya “keterbukaan dan kejujuran” yang hidup, berkembang dan dianut dalam lingkungan keluarga Batak. Dalam contoh lain, perusahaan dapat juga mengembangkan nilai-nilai budaya “saling menghargai sesama” yang dianut keluaga Jawa untuk menerapkan prinsip “kesetaraan” dalam GCG, dsb.
Di lingkungan perusahaan perkebunan ex nasionalisasi Belanda [PTPN], menanamkan budaya [baru] sebagai pondasi GCG memang akan menghadapi tantangan tersendiri. Karena pada saat yang sama harus diakui bahwa dalam mindset [benak] sebagian karyawan PTPN sudah [pernah] tertanam nilai-nilai budaya lama yang feodalistis. Meskipun sedikit banyak sudah terjadi perubahan cara pandang, tetapi dalam beberapa hal tentu saja tidak mudah menghapusnya dari mindset mereka. Apalagi kemungkinan [masih] ada Staf atau Manajer yang memelihara budaya tersebut untuk keuntungan dirinya. Persis seperti dahulu ketika Sinder-Sinder Belanda memelihara budaya feodalistik untuk mengontrol karyawan agar tidak melakukan tindakan “subversif” terhadap pimpinan [baca:Stoler:1985]. Namun tantangan tersebut akan mudah dihadapi apabila para pengambil kebijakan di PTPN memiliki mindset perubahan. Seperti dalam buku Rheinald Kasali, “Change!!”, selalu ada waktu untuk melakukan perubahan***
Oleh: Budhi Masthuri
sumber tulisan: Majalah Media Nusatiga, Edisi XIV 2008
Baca Selanjutnya......
Minggu, 10 Januari 2010
Ada 'Bangsat' di Senayan...
Kolom Budhi Masthuri
www.detiknews.com Kamis, 07/01/2010
'Bangsat'. Kata yang sebenarnya lebih bermakna sebagai tidak terhormat ini tiba-tiba saja menjadi 'hits' karena dipopulerkan kembali oleh seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang [katanya] terhormat. Insiden yang memalukan ini terjadi di tengah-tengah suasana rapat Pansus DPR yang membahas Skandal Bank Century. Mari kita sejenak berselancar ke berbagai kamus bahasa Indonesia, sebenarnya apa sih arti dari kata 'bangsat' itu
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer kata bangsat bisa berarti orang miskin, gembel, atau kutu busuk. Tetapi juga mengandung arti sebagai julukan untuk orang yang suka berbuat jahat seperti mencuri, menodong, mencopet dan sebagainya. Arti kata 'bangsat' yang lebih kurang sama juga ditemukan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Semua kamus menempatkan kata 'bangsat' sebagai ekspresi yang mengandung konotasi negatif. Sekalipun kata 'bangsat' diartikan sebagai 'kutu busuk' tetap saja bermakna negatif, karena penggunaannya untuk memaknai sifat buruk kutu busuk itu sendiri sebagai penghisap darah dan merugikan manusia. Kutu busuk sebagai 'bangsat' biasanya menggerogoti kursi-kursi yang kita duduki sehingga menjadi lapuk dan rusak.
Demikian juga jika kata 'bangsat' diartikan sebagai 'gembel dan orang miskin', konteksnya adalah untuk mengekspresikan kekesalan. Jadi kesimpulannya, kata bangsat adalah bentuk kata yang mengandung konotasi negatif sehingga harusnya tidak layak diucapkan oleh seorang anggota Dewan yang terhormat, dalam ruangan rapat yang terhormat, dan pada saat membahas masalah untuk memulihkan kehormatan bangsa! Tetapi kenyataannya toch hal tersebut tetap terjadi. Bagian yang perlu dicermati adalah, mengapa ini bisa terjadi dan apa selanjutnya?
Inilah cermin dari kegagalan sistem rekrutmen politik di Negara kita. Harus diakui bahwa partai politik masih belum memiliki sistem rekrutmen yang mampu menjaring orang-orang berkualitas baik. Salah satu penyebabnya adalah budaya pragmatisme dan perilaku koruptif yang menjangkiti proses rekrutmen itu sendiri. Seseorang ditunjuk atau diterima sebagai anggota parpol yang juga akan mendaftar sebagai bakal calon anggota legislatif umumnya [untuk tidak mengatakannya 'semua'] bukan karena ia memang dianggap mampu bersuara dan memperjuangkan visi misi partai, tetapi [kadang] lebih penting dari itu adalah ditentukan dari berapa besar kontribusi finansial yang diberikan kepada partai, atau seberapa dekat ia memiliki hubungan emosional dengan para pengambil kebijakan dalam partai. Pada bagian lainnya, Partai-pun dengan mudah menerima anggota-anggota yang sebelumnya keluar dari keanggotaan partai lain, meskipun dengan ideologi partai yang berbeda. Belum lagi penyakit pragmatisme politik untuk meraih suara terbanyak dengan menempatkan artis sebagai jualannya.
Oleh karena itu, wajar jika kebanyakan partai politik mengalami krisis kader yang benar-benar dapat melakukan transformasi idealisme partai untuk memperjuangkan visi dan misinya. Ini barangkali menjadi salah satu penyebab rendahnya kapasitas dan lebih-lebih moralitas mereka dalam melakukan transformasi atas visi misi politik partainya terutama untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Konon kondisi seperti ini yang membedakan kualitas anggota parlemen sekarang dengan zaman sebelum orde baru.
Selain sebagai cermin kegagalan sistem rekrutmen politik, insiden ini juga berpotensi menimbulkan gesekan politik yang semakin tajam antara masing-masing partai. Jika tidak dikelola secara tepat, dikhawatirkan dapat digunakan untuk membelokkan fokus pengungkapan skandal Bank Century oleh orang-orang yang tidak menginginkannya. Ini menyangkut hal mendasar tentang etika dan moral seorang anggota parlemen, tetapi meskipun demikian seharusnya penyelesaian politiknya sangat mudah. Jika ternyata dalam satu dua minggu ke depan masalah ini terus membesar dan cenderung dibesar-besarkan, maka patut diwaspadai ada sekenario lain untuk memudarkan cahaya kerja Pansus sehingga bayangan skandal Bank Century akan kembali menjadi kabur dan menghilang.
Untuk itu, kita semua perlu sepakat bahwa anggota Dewan yang terhormat wajib menjaga tata tertib, etika dan moral dalam mengemban amanah rakyat. Sehingga, ada baiknya perlu dipertimbangkan sanksi tegas bagi mereka yang melanggarnya.
Oleh Budhi Masthuri, Koordinator Solidaritas Indonesia Bersih Baca Selanjutnya......
www.detiknews.com Kamis, 07/01/2010
'Bangsat'. Kata yang sebenarnya lebih bermakna sebagai tidak terhormat ini tiba-tiba saja menjadi 'hits' karena dipopulerkan kembali oleh seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang [katanya] terhormat. Insiden yang memalukan ini terjadi di tengah-tengah suasana rapat Pansus DPR yang membahas Skandal Bank Century. Mari kita sejenak berselancar ke berbagai kamus bahasa Indonesia, sebenarnya apa sih arti dari kata 'bangsat' itu
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer kata bangsat bisa berarti orang miskin, gembel, atau kutu busuk. Tetapi juga mengandung arti sebagai julukan untuk orang yang suka berbuat jahat seperti mencuri, menodong, mencopet dan sebagainya. Arti kata 'bangsat' yang lebih kurang sama juga ditemukan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Semua kamus menempatkan kata 'bangsat' sebagai ekspresi yang mengandung konotasi negatif. Sekalipun kata 'bangsat' diartikan sebagai 'kutu busuk' tetap saja bermakna negatif, karena penggunaannya untuk memaknai sifat buruk kutu busuk itu sendiri sebagai penghisap darah dan merugikan manusia. Kutu busuk sebagai 'bangsat' biasanya menggerogoti kursi-kursi yang kita duduki sehingga menjadi lapuk dan rusak.
Demikian juga jika kata 'bangsat' diartikan sebagai 'gembel dan orang miskin', konteksnya adalah untuk mengekspresikan kekesalan. Jadi kesimpulannya, kata bangsat adalah bentuk kata yang mengandung konotasi negatif sehingga harusnya tidak layak diucapkan oleh seorang anggota Dewan yang terhormat, dalam ruangan rapat yang terhormat, dan pada saat membahas masalah untuk memulihkan kehormatan bangsa! Tetapi kenyataannya toch hal tersebut tetap terjadi. Bagian yang perlu dicermati adalah, mengapa ini bisa terjadi dan apa selanjutnya?
Inilah cermin dari kegagalan sistem rekrutmen politik di Negara kita. Harus diakui bahwa partai politik masih belum memiliki sistem rekrutmen yang mampu menjaring orang-orang berkualitas baik. Salah satu penyebabnya adalah budaya pragmatisme dan perilaku koruptif yang menjangkiti proses rekrutmen itu sendiri. Seseorang ditunjuk atau diterima sebagai anggota parpol yang juga akan mendaftar sebagai bakal calon anggota legislatif umumnya [untuk tidak mengatakannya 'semua'] bukan karena ia memang dianggap mampu bersuara dan memperjuangkan visi misi partai, tetapi [kadang] lebih penting dari itu adalah ditentukan dari berapa besar kontribusi finansial yang diberikan kepada partai, atau seberapa dekat ia memiliki hubungan emosional dengan para pengambil kebijakan dalam partai. Pada bagian lainnya, Partai-pun dengan mudah menerima anggota-anggota yang sebelumnya keluar dari keanggotaan partai lain, meskipun dengan ideologi partai yang berbeda. Belum lagi penyakit pragmatisme politik untuk meraih suara terbanyak dengan menempatkan artis sebagai jualannya.
Oleh karena itu, wajar jika kebanyakan partai politik mengalami krisis kader yang benar-benar dapat melakukan transformasi idealisme partai untuk memperjuangkan visi dan misinya. Ini barangkali menjadi salah satu penyebab rendahnya kapasitas dan lebih-lebih moralitas mereka dalam melakukan transformasi atas visi misi politik partainya terutama untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Konon kondisi seperti ini yang membedakan kualitas anggota parlemen sekarang dengan zaman sebelum orde baru.
Selain sebagai cermin kegagalan sistem rekrutmen politik, insiden ini juga berpotensi menimbulkan gesekan politik yang semakin tajam antara masing-masing partai. Jika tidak dikelola secara tepat, dikhawatirkan dapat digunakan untuk membelokkan fokus pengungkapan skandal Bank Century oleh orang-orang yang tidak menginginkannya. Ini menyangkut hal mendasar tentang etika dan moral seorang anggota parlemen, tetapi meskipun demikian seharusnya penyelesaian politiknya sangat mudah. Jika ternyata dalam satu dua minggu ke depan masalah ini terus membesar dan cenderung dibesar-besarkan, maka patut diwaspadai ada sekenario lain untuk memudarkan cahaya kerja Pansus sehingga bayangan skandal Bank Century akan kembali menjadi kabur dan menghilang.
Untuk itu, kita semua perlu sepakat bahwa anggota Dewan yang terhormat wajib menjaga tata tertib, etika dan moral dalam mengemban amanah rakyat. Sehingga, ada baiknya perlu dipertimbangkan sanksi tegas bagi mereka yang melanggarnya.
Oleh Budhi Masthuri, Koordinator Solidaritas Indonesia Bersih Baca Selanjutnya......
Langganan:
Postingan (Atom)
Lihat Page Rank Blog Anda : |
dipersembahkan oleh Page Rank Checker |