Siapa Tokoh yang Anda Anggap Paling Mampu Perbaiki Kualitas Pelayanan Publik Jika Memimpin Asahan? lihat disini!!
Sekali klik Dapet Duit? Saya Sudah Buktikan Disini!!! DAFTAR GRATIS!!

Selasa, 29 September 2009

Rekor Baru Itu Bernama Akbar...

[SeputarAsahan:29/09/09] Muhammad Akbar Risudin, demikian Bupati Asahan memberi nama kehormatan untuk seorang bayi terbesar di Indonesia yang lahir di Asahan pada Hari Senin 21 September 2009 lalu. Akbar lahir di Rumah Sakit Umum Kisaran secara operasi cesar dengan bobot 8,7Kg. Ia merupakan anak ke-4 dari pasangan keluarga Hasanuddin dan Ani. Keluarga yang tergolong tidak mampu ini-pun akhirnya memutuskan untuk melakukan KB permanen setelah melahirkan Akbar.

Dalam cacatan Musium Record Indonesia, Akbar merupakan bayi terbesar di Indonesia. Kelahiran Akbar ini telah pula ikut "mengangkat" nama Asahan menjadi daerah yang belakangan ini disorot media massa bahkan sampai ke dunia internasional. Uniknya, orang tua Akbar sebenarnya dalah warga Kabupaten Batubara yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Asahan. Awalnya Akbar bahkan sempat menjadi "rebutan" antara Bupati Asahan dan Batubara, meskipun akhirnya dapat "diselesaikan" secara baik oleh orang tuanya, Hasanuddin dan Ani.
Bupati Asahan tidak hanya memberikan nama kehormatan, tetapi sekaligus juga mengangkatnya menjadi anak dan berharap Akbar kelak dapat menjadi Bupati Asahan.

Kelahiran Akbar adalah simbol dari momentum bagi kebangkitan Asahan di ranah nasional dan Internasional. Momentum ini hendaknya tidak disia-siakan. Sorotan media masa terhadap kelahiran Akbar akan semakin indah dan berarti jika Asahan juga bisa menampilkan potensi "unggul' lainnya. Ada sepatu kulit dari Bunut, Dodol Tanjung Alam, Durian Rawang, Anyang Pakis dan banyak lagi potensi yang [sebenarnya] dapat dikembangkan bagi kemakmuran masyarakat Asahan.

Asahan perlu membangun/memperkuat imej sebagai daerah dengan pemerintahan yang bersih dan melayani serta masyarakatnya yang makmur. Tiga jargon ini perlu dijadikan visi pembangunan Asahan pada masa akan datang. Sudah bukan saatnya lagi kita merasa besar [hanya] di kampung sendiri. Lihat dan belajarlah dari keberhasilan kampung orang lain. Jika Pemerintah Kabupaten Jembrana Bali bisa memberikan pelayanan pendidikan gratis, kenapa Asahan tidak? Kalau pemerintah Kabupaten Sragen Jawa Tengah bisa memberikan pelayanan perijinan satu atap yang cepat murah dan ramah, Asahan pasti juga mampu. Kalau Kabupaten Solok Sumatera Barat berhasil membangun pemerintahan yang akuntabel dalam melayani masyarakat, Asahan perlu mengambilnya sebagai inspirasi untuk membangun daerah. Dan jika Kabupaten Tulungagung Jawa Timur berhasil mengembangkan ekonomi kerakyatan, Asahan perlu juga meniru! [Tim SeputarAsahan]

Baca Selanjutnya......

Sabtu, 12 September 2009

Anyang Pakis, Plecing Kangkung & Ayam Taliwang

[SeputarAsahan:11/09/2009] Bulan Agustus lalu Seputar Asahan memuat tulisan tentang "nasib" Anyang Pakis sudah "turun kelas" [hanya] menjadi makanan musiman di Asahan. Nilai khas Anyang Pakis tidak pernah digali sehingga kini terus tergilas oleh roda jaman. Padahal, dibelahan bumi indonesia timur, di Lombok, NTB kangkung dan ayam taliwang "disulap" menjadi kuliner khas bernilai tinggi yang dicari-cari oleh setiap turis lokal dan mancanegara yang datang. Pada awal September kemarin, Seputar Asahan berkesempatan melakukan perjalanan ke Lombok dan menyempatkan singgah di salah satu rumah makan khas Lombok yang menyediakan menu Plecing Kangkung dan Ayam Taliwang. Dua menu ini merupakan ikon wisata kuliner dari Lombok yang diincar setiap turis lokal dan mancanegara, termasuk Seputar Asahan :)

Konon asal-usul Ayam Taliwan adalah dari hutan di kaki gunung Tambora yang terletak di Pulau Sumbawa, NTB. Di salah satu sisi kaki Gunung Tambora ada sebuah desa bernama Desa Taliwang. Masyarakatnya memiliki kebiasaan berburu dan memelihara ayam-ayam yang mereka tangkap dari hutan. Sehingga ciri fisik Ayam Taliwang ini memang kecil namun dagung nya padat dan seratnya liat. Pada tahun 60-an, Gunung Tambora meletus, masyarakat Desa Taliwang terpaksa mengungsi di daerah yang aman. Adalah pemimpin etnis Bali yang dinggal di daerah Cakranegara, Lombok kemudian menerima dengan baik para pengungsi dari Desa Taliwang ini. Selanjutnya terjadi akulturasi dan eks warga Desa Taliwang yang mayoritas muslim mampu membaur dengan warga Cakranegara yang mayoritas hindu Bali. Kebiasaan mengolah Ayam Taliwang-pun masih diteruskan oleh eks Warga Desa Taliwang secara turun temurun. Puluhan tahun berlalu, kini Cakranegara menjadi salah satu objek wisata kuliner di Lombok, dengan menu khas andalannya Ayam Taliwan dan Plecing Kangkung. Pemerintah daerah memfasilitasi dengan baik sehingga usaha-usaha kuliner yang menyajikan menu khas ini dapat tumbuh subur di Lombok.

Ada beberapa menu Ayam Taliwang yang ditawarkan, ada ayam taliwang bumbu pedas, ekstra pedas, dan bumbu madu. Dan menyantam Ayam Taliwan memang kurang lengkap jika tidak ditemani Plecing Kangkung. Plecing Kangkung ini sebenarnya hanyalah kangkung rebus biasa ditambah tauge, kacang tanah goreng dan sambal terasi. Nah, keistimewaan Plecing Kangkung ini terletak pada jenis kangkungnya yang khas Lombok, dan cita rasa sambalnya yang pedas. Meskipun sama-sama kangkung, tetapi kangkung dari Lombok ini bisa tetap renyah walaupun sudah matang direbus. Anehnya, jika bibit kangkung dibawa keluar daerah Lombok dan ditanam, hasilnya tidak renyah seperti di daerah asalnya. Inilah yang membuat para ibu-ibu yang senang memasak, tidak sungkan-sungkan membawa kangkung mentah dari mataram dan bahan dasar sambal-nya untuk dijadikan sebagai oleh-oleh khas dari Lombok.

Bagaimana dengan Anyang Pakis di Asahan? Tampaknya mimpi Anyang Pakis naik kelas menjadi Plecing Kangkung dan Ayam Taliwang seperti di Lombok masih memerlukan proses pewacanaan [diskursus] yang panjang di Asahan. Diperlukan keinginan politik yang kuat dari pemerintah untuk menggali potensinya menjadi bagian dari kekayaan wisata kuliner di Asahan. Selain itu, masyarakat Asahan juga perlu mulai membiasakan diri berfikir dan bertindak kreatif menciptakan ikon-ikon wisata kuliner di Asahan secara swadaya, sehingga dapat mengisi kekosongan inovasi dari Pemerintah Kabupaten. Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi bagi semua fihak di Asahan untuk mengambil tindakan nyata dalam menggali dan meningkatkan wisata kuliner di Asahan. [Tim Seputar Asahan]
Baca Selanjutnya......

Jumat, 04 September 2009

Sepatu Bunut Riwayatmu Kini...

[Bagian Pertama]
SeputarAsahan:08/09/2009: Lebaran sebentar lagi, anda butuh sepatu baru? Belilah produk dalam negeri asli buatan bangsa sendiri. Slogan ini mengingatkan kita akan sebuah momentum buka-bukaan sepatu oleh salah seorang calon presiden RI dalam kesempatan kampanye dialogis di sebuah stasiun televisi swasta. Sepatu buatan Cibaduyut Bandung Ia jadikan sebagai simbol kebangkitan produk bangsa sendiri dan nasionalisme konsumen Indonesia. Tetapi, kita orang Sumatera Utara tidak perlu jauh-jauh ke Bandung, di Asahan juga ada produk sepatu kulit lokal yang tidak kalah mutunya dengan produk dari Cibaduyut, bahkan beberapa pengrajin mampu membuatnya dengan kualitas manca negara. Sepatu kulit ini dahulu konon merupakan produk pabrikan buatan USA, dan setelah puluhan tahun pabrik ditutup, para pengrajin ex karyawan pabrik sepatu kulit ini secara turun temurun terus mengembangkannya sehingga kini telah menjadi bagian dari karya industri khas dari Asahan.


Adalah daerah Bunut, salah satu daerah pinggiran Kota di Kecamatan Kisaran Barat, Kabupaten Asahan, selama ini menjadi sentra industri Sepatu Kulit berlabel "Bunut". Tentu saja ini menjadi salah satu kebanggaan kita sebagai warga Asahan, dan [harusnya] juga menjadi kebanggaan bansa Indonesia. Namun ironisnya Pemerintah Kabupaten Asahan tidak menempatkan "Sepatu Kulit dari Bunut" menjadi bagian penting untuk pengembangan potensi lokal di Asahan. Pemerintah Kabupaten Asahan tidak menjadikan industri rumahan Sepatu Kulit dari Bunut ini sebagai salah satu ikon potensi daerah dalam website Pemkab Asahan. Padahal, Malaysia misalnya, "dibela-belain" menjadikan Tari Pendet Bali dan Batik sebagai bagian dari potensi pariwisatanya, tetapi kita yang memiliki potensi lokal industri rumahan sepatu kulit dari Bunut dibiarkan hidup meranggas tanpa bantuan fasilitas yang memadai dari Pemerintah. Jangan sampai kelak Sepatu Kulit dari Bunut juga di klaim sebagai produk karya negara tetangga, dan persoalannya adalah apakah Pemerintah Kabupaten Asahan peduli dengan ancaman ini?

Ini menjadi keprihatinan Seputar Asahan, dan tentusaja [harusnya] merupakan keprihatinan kita bersama. Jika kita amati di sepanjang Jalan Sudirman, Bunut beberapa pengrajin lama yang memiliki "toko" sederhana berdinding papan [kayu], tampak seperti telah mati suri. Bahkan salah satu pengrajin yang memiliki toko keshohor di jamannya seperti misalnya "Egalite" dan "Bunut Shoes" harus menutup tokonya setengah hari karena sepinya pembeli. Pemerintah Kabupaten Asahan tampaknya tidak hanya kurang peduli, bahkan tidak cukup kreatif untuk mempromosikan potensi ini menjadi bagian dari kampanye cinta industri lokal dan pariwisata Asahan/ Tim Seputar Asahan. [bersambung]

Baca Selanjutnya......

Rabu, 02 September 2009

Kencing Rp.500 Berak Rp.1000..

Kisah Anak Rantau
Serba Serbi Perjalanan Perantau Asahan,
Suatu hari ketika aku pulang ke Kisaran dengan menggunakan jasa transportasi bis (ALS), ketika sampai di Rantau Parapat (5 jam sebelum Kota Medan) bis yang kutumpangi berhenti di salah satu rumah makan. Aku yang sejak beberapa jam yang lalu menahan buang hajat (berak), segera saja turun dan mencari toilet yang disediakan oleh Rumah Makan tersebut. Ketika memasuki ruang toilet, di depan pintu masuk tertulis "Kencing Rp. 500 Berak Rp. 1000".

Terus terang saja, uang dikantongku hanya tinggal Rp. 10.000, artinya aku hanya bisa menggunakannya untuk sekali makan (seharga 5000 - 7000) di Rumah Makan tersebut. Kalaupun aku harus membayar retribusi toilet (berak Rp. 1000), maka aku masih punya sisa uang Rp. 9.000. Ah cukuplah. Toh kampung halamanku tak jauh lagi dari Rantau Parapat (yakni Kisaran). Setelah selesai aku berak, betapa terkejutnya aku. Penjaga toilet yang sejak tadi mengawasiku meminta aku membayar Rp. 1.500.


Spontan saja aku protes. "Mas, aku kan hanya berak, kok harus seribu lima ratus ?" Kataku. orang yang ku panggil mas tadi ternyata seorang yang berdarah batak, dengan dialek batak ia menjawab : "Mas dari jawa ya ? Apa mas tidak tahu ? Di mana-mana mas, nggak di sumatera juga gak di jawa, semua orang yang berak pasti kencing. Makanya mas harus bayar seribu lima ratus!" Akupun terdiam dan terpaksa kukeluarka uang Rp. 1.500. Dalam pikiranku, aku yang bodoh atau orang batak itu yang cerdik? "Ah dasar Batak
, Banyak Taktik". Bisik hatiku kesal bercampur geli.

[catatan TarSan: Tulisan ini tidak bermaksud SARA, hanya bagian dari khasanah kekayaan budaya bertutur anak Asahan]
Baca Selanjutnya......
Lihat Page Rank Blog Anda :
dipersembahkan oleh Page Rank Checker