Siapa Tokoh yang Anda Anggap Paling Mampu Perbaiki Kualitas Pelayanan Publik Jika Memimpin Asahan? lihat disini!!
Sekali klik Dapet Duit? Saya Sudah Buktikan Disini!!! DAFTAR GRATIS!!

Kamis, 31 Desember 2009

Budayawan Besar Itupun Berpulang...

Pengujung tahun, 30 Desember 2009 pukul 18.40, Gus Dur berpulang. Kepergiannya meninggalkan kesan mendalam tidak hanya dikalangan petinggi negeri, tetapi juga dihati kaum nahdliyin sampai di pelosok desa. Gus Dur adalah Guru Bangsa. Ia tidak hanya seorang Presiden, tetapi juga budayawan besar, bahkan sekaligus pengamat sepak bola. Dalam balutan kontroversisl, kita banyak memetik buah pelajaran berharga darinya tentang demokrasi dan toleransi tingkat tinggi. Sebagai bentuk penghormatan kebudayaan, TarSan memasang photo kenangan bersama Gus Dur sekitar setahun yang lalu. Selamat jalan Gus, meskipun berat hati, kepergianmu kami relakan, sebab hidup hanyalah tempat persinggahan untuk mengolah rasa, asa dan karsa sebelum akhirnya menuju alam hakiki.

Baca Selanjutnya......

Jumat, 27 November 2009

Facebook Lahir dari Budaya Perlawanan..

[ Seputar Asahan:27/11/09] Tahukah Anda bahwa situs jejaring sosial facebook.com ternyata lahir dari sebuah budaya perlwanan. Seorang Mahasiswa Smester II dari Harvard University bernama Mark Zuckerberg awalnya membuat sebuah situs kontak jodoh untuk rekan-rekan kampusnya. Untuk menampilkan foto-foto pasangan di situs ini, Zuckerberg berupaya dengan segala cara mencari foto-foto rekannya dengan cara keliling ‘door-to-door’ untuk meminta foto. Terakhir ia nekad membobol akses jaringan komputer kampusnya untuk mendapatkan foto-foto tambahan. Karena kenekad-annya tersebut, situs kontak jodoh yang ia beri nama Facemash.com itupun diblokir oleh Universitas dan diikuti dengan tindakan sanksi kepada Zuckerberg dengan ancaman akan memecatnya dari kampus. Surutkah langkah Zuckerberg? Ternyata ia tidak surut melangkah!!

Zuckerberg tidak berhenti. Pada semester berikutnya, tepatnya pada tanggal 4 Februari 2004, Zuckerberg membuat sebuah situs baru bernama “The Facebook” yang beralamat http://www.thefacebook.com/. Untuk situs barunya ini, Zuckerberg berkomentar sarkas: “Menurutku upaya pihak kampus yang ingin membuat media pertukaran informasi antar civitas akademik yang butuh waktu bertahun-tahun adalah hal yang konyol. Dengan situsku ini, aku bisa mengerjakannya cuma dalam waktu seminggu saja”.

Saat pertama kali diluncurkan “The Facebook” hanya terbatas di kalangan kampus Harvard saja. Dan sungguh menakjubkan! Dalam waktu satu bulan para penggunanya sudah mencakup lebih dari setengah jumlah mahasiswa Harvard saat itu. Selanjutnya, sejumlah rekan Zuckerberg turut bergabung memperkuat tim thefacebook.com. Mereka adalah Eduardo Saverin (analis usaha), Dustin Moskovitz (programmer), Andrew McCollum (desainer grafis), dan Chris Hughes.Bulan maret 2004, thefacebook.com mulai merambah ke beberapa kampus lain di kota Boston, AS dan juga ke sejumlah kampus ternama seperti Stanford, Columbia, Yale, dan Ivy League.

Tak butuh waktu lama, situs ini telah tersebar penggunaannya di hampir semua kampus di AS dan Kanada. Bulan Juni 2004, Zuckerberg, McCollum dan Moskovitz memindahkan markas ke Palo Alto, California. Di sini mereka turut dibantu juga oleh Adam D'Angelo dan Sean Parker.Pertengahan 2004, thefacebook.com mendapat investasi pertamanya darisalah seorang pendiri PayPal, Pieter Thiel. Setelah itu berturut-turut perusaan IT besar dan kesohor melakukan investasi jutaan dollar. Sehingga kini facebook sudah merambah hampir setiap jengkal perkotaan diberbagai belahan dunia sehingga rasanya hampir tidak ada yang tidak tahu facebook.

Facebook adalah simbol dari budaya perlawanan anak muda yang sedang mencari jati diri untuk sebuah idealisme. Hal ini dapat kita rasakan dari sejarah asal mula facebook di kreasikan oleh seorang Zuckerberg. Di Indonesia, budaya perlawanan tersebut kembali menunjukkan manifestasinya ketika para facebooker ramai-ramai melakukan advokasi untuk membebaskan Prita Mulyasari maupun Bibit dan Chandra. Advokasi tersebut sebagai simbol dari bentuk perlawanan terhadap kekuasaan yang zalim.

Inilah nilai positif yang dapat kita petik dari sebuah budaya perlawanan melalui facebook. Kita perlu belajar banyak dari Zuckerberg. Kita tidak boleh diam jika menyaksikan kemungkaran di depan mata. Bangun dan lakukan perlawanan untuk menghentikan kemungkaran. Jika memiliki tenaga dan kekuasaan, lawanlah dengan tenaga dan kekuasaan. Jika tidak memiliki tenaga dan kekuasaan, lawanlah dengan perkataan. Jika tidak mampu berkata-kata, lawanlah dengan hati dan doa. Inilah sejatinya Budaya Perlawanan yang harus kita bangun bersama, untuk Asahan lebih maju pada masa akan datang, kita harus melawan kemungkaran yang ada di Asahan!!. [Tim Seputar Asahan, disarikan dari berbagai sumber, a.l http://haxims.blogspot.com/2009/11/sejarah-facebook.html]
Baca Selanjutnya......

Selasa, 24 November 2009

Budayawan Asahan Peroleh Penghargaan...

SeputarAsahan [24/11/09] Budayawan Asahan sekaligus penulis buku Legenda Kisaran Naga, R. Soetrisman Mhd. Effendi baru-baru ini memperoleh penghargaan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Propinsi Sumatera Utara. Penghargaan tersebut diberikan bersamaan dengan seniman dan budayawan dari 10 kabupaten/kota di Sumut. Penyerahan penghargaan prestasi yang masih berkaitan dengan kegiatan Sumut Gema Pariwisata (Sumut GEMPAR) 2009 tersebut diserahkan oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut Ir Hj Nurlisa Ginting MSc di Hotel Dharma Deli, Jumat (13/11).

Para seniman yang mendapat penghargaan tersebut yakni, Abdul Rahim seniman Teater dari Tebing Tinggi, Rosmaulina Pelatih Tari dari Simalungun, Hulman Siregar Seniman Ukir dari Taput, Jamaluddin Komedian dari Langkat, Amunah SPd Seni Tari dari Langkat, Irma Darmayanti Seni Tari dari Tanjung Balai, Herwinsyah Sirait Seni Teater dari Tanjung Balai, Edison Nainggolan Seni Musik dari Tobasa, P Halomoan Simanjuntak Seni Ukir dari Tobasa, Ahiruddin Pasaribu Budayawan dari Tapanuli Tengah, Abdul Rahman Sinaga Seni Rupa dari Tapanuli Tengah dan R Soetrisman, Budayawan dari Asahan. Lebih TerpacuPada penyerahan itu Nurlisa ginting menyampaikan, dengan pemberian penghargaan diharapkan para seniman bisa lebih terpacu sekaligus dapat meningkatkan prestasinya untuk terus berkarya dan menciptakan inovasi baru.

Upaya Pemerintah SUMUT ini patut diapresiasi, mengingat saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis multidimensi yang berpotensi menghaucurkan sendi-sendi ketahanan budaya, mental dan moralitas bangsa. Upaya untuk mengembangkan seni dan kebudayaan haruslah ditempatkan ke dalam kerangka untuk mengantisipasi dampak negatif dari globalisasi informasi agar bangsa ini tidak kehilangan identitas diri [Tim Seputar Asahan]































Baca Selanjutnya......

Jumat, 09 Oktober 2009

Tanahnya Sewa.. Airnya Beli..

Kisah Anak Rantau
Serba Serbi Perjalanan Perantau Asahan,
Inilah kisah sebuah ironi di negeri berjuluk jamrud khatulistiwa. Kukisahkan ke dalam satu anekdot untuk menjadi perenungan kita semua. Alkisah.... Seorang lurah menegur seorang warganya karena pada tanggal 17 Agustus 2005 baru lalu warga tersebut tidak memasang bendera di depan rumahnya. Sang Lurah berkata : "Mengapa kamu tidak pasang bendera? Apakah kamu sudah tidak cinta lagi dengan tanah air mu?" Dengan sangat enteng si warga yang kebetulan orang berdarah batak itu menjawab : "Bah, cemana pula aku mau cinta sama tanah air pak ! Sedangkan tanah saja aku sewa dan air aku beli!" Dengan menggeleng-gelengkan kepalanya yang penuh tanda tanya itu Sang Lurah meninggalkan si Warga tersebut.
Baca Selanjutnya......

Selasa, 29 September 2009

Rekor Baru Itu Bernama Akbar...

[SeputarAsahan:29/09/09] Muhammad Akbar Risudin, demikian Bupati Asahan memberi nama kehormatan untuk seorang bayi terbesar di Indonesia yang lahir di Asahan pada Hari Senin 21 September 2009 lalu. Akbar lahir di Rumah Sakit Umum Kisaran secara operasi cesar dengan bobot 8,7Kg. Ia merupakan anak ke-4 dari pasangan keluarga Hasanuddin dan Ani. Keluarga yang tergolong tidak mampu ini-pun akhirnya memutuskan untuk melakukan KB permanen setelah melahirkan Akbar.

Dalam cacatan Musium Record Indonesia, Akbar merupakan bayi terbesar di Indonesia. Kelahiran Akbar ini telah pula ikut "mengangkat" nama Asahan menjadi daerah yang belakangan ini disorot media massa bahkan sampai ke dunia internasional. Uniknya, orang tua Akbar sebenarnya dalah warga Kabupaten Batubara yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Asahan. Awalnya Akbar bahkan sempat menjadi "rebutan" antara Bupati Asahan dan Batubara, meskipun akhirnya dapat "diselesaikan" secara baik oleh orang tuanya, Hasanuddin dan Ani.
Bupati Asahan tidak hanya memberikan nama kehormatan, tetapi sekaligus juga mengangkatnya menjadi anak dan berharap Akbar kelak dapat menjadi Bupati Asahan.

Kelahiran Akbar adalah simbol dari momentum bagi kebangkitan Asahan di ranah nasional dan Internasional. Momentum ini hendaknya tidak disia-siakan. Sorotan media masa terhadap kelahiran Akbar akan semakin indah dan berarti jika Asahan juga bisa menampilkan potensi "unggul' lainnya. Ada sepatu kulit dari Bunut, Dodol Tanjung Alam, Durian Rawang, Anyang Pakis dan banyak lagi potensi yang [sebenarnya] dapat dikembangkan bagi kemakmuran masyarakat Asahan.

Asahan perlu membangun/memperkuat imej sebagai daerah dengan pemerintahan yang bersih dan melayani serta masyarakatnya yang makmur. Tiga jargon ini perlu dijadikan visi pembangunan Asahan pada masa akan datang. Sudah bukan saatnya lagi kita merasa besar [hanya] di kampung sendiri. Lihat dan belajarlah dari keberhasilan kampung orang lain. Jika Pemerintah Kabupaten Jembrana Bali bisa memberikan pelayanan pendidikan gratis, kenapa Asahan tidak? Kalau pemerintah Kabupaten Sragen Jawa Tengah bisa memberikan pelayanan perijinan satu atap yang cepat murah dan ramah, Asahan pasti juga mampu. Kalau Kabupaten Solok Sumatera Barat berhasil membangun pemerintahan yang akuntabel dalam melayani masyarakat, Asahan perlu mengambilnya sebagai inspirasi untuk membangun daerah. Dan jika Kabupaten Tulungagung Jawa Timur berhasil mengembangkan ekonomi kerakyatan, Asahan perlu juga meniru! [Tim SeputarAsahan]

Baca Selanjutnya......

Sabtu, 12 September 2009

Anyang Pakis, Plecing Kangkung & Ayam Taliwang

[SeputarAsahan:11/09/2009] Bulan Agustus lalu Seputar Asahan memuat tulisan tentang "nasib" Anyang Pakis sudah "turun kelas" [hanya] menjadi makanan musiman di Asahan. Nilai khas Anyang Pakis tidak pernah digali sehingga kini terus tergilas oleh roda jaman. Padahal, dibelahan bumi indonesia timur, di Lombok, NTB kangkung dan ayam taliwang "disulap" menjadi kuliner khas bernilai tinggi yang dicari-cari oleh setiap turis lokal dan mancanegara yang datang. Pada awal September kemarin, Seputar Asahan berkesempatan melakukan perjalanan ke Lombok dan menyempatkan singgah di salah satu rumah makan khas Lombok yang menyediakan menu Plecing Kangkung dan Ayam Taliwang. Dua menu ini merupakan ikon wisata kuliner dari Lombok yang diincar setiap turis lokal dan mancanegara, termasuk Seputar Asahan :)

Konon asal-usul Ayam Taliwan adalah dari hutan di kaki gunung Tambora yang terletak di Pulau Sumbawa, NTB. Di salah satu sisi kaki Gunung Tambora ada sebuah desa bernama Desa Taliwang. Masyarakatnya memiliki kebiasaan berburu dan memelihara ayam-ayam yang mereka tangkap dari hutan. Sehingga ciri fisik Ayam Taliwang ini memang kecil namun dagung nya padat dan seratnya liat. Pada tahun 60-an, Gunung Tambora meletus, masyarakat Desa Taliwang terpaksa mengungsi di daerah yang aman. Adalah pemimpin etnis Bali yang dinggal di daerah Cakranegara, Lombok kemudian menerima dengan baik para pengungsi dari Desa Taliwang ini. Selanjutnya terjadi akulturasi dan eks warga Desa Taliwang yang mayoritas muslim mampu membaur dengan warga Cakranegara yang mayoritas hindu Bali. Kebiasaan mengolah Ayam Taliwang-pun masih diteruskan oleh eks Warga Desa Taliwang secara turun temurun. Puluhan tahun berlalu, kini Cakranegara menjadi salah satu objek wisata kuliner di Lombok, dengan menu khas andalannya Ayam Taliwan dan Plecing Kangkung. Pemerintah daerah memfasilitasi dengan baik sehingga usaha-usaha kuliner yang menyajikan menu khas ini dapat tumbuh subur di Lombok.

Ada beberapa menu Ayam Taliwang yang ditawarkan, ada ayam taliwang bumbu pedas, ekstra pedas, dan bumbu madu. Dan menyantam Ayam Taliwan memang kurang lengkap jika tidak ditemani Plecing Kangkung. Plecing Kangkung ini sebenarnya hanyalah kangkung rebus biasa ditambah tauge, kacang tanah goreng dan sambal terasi. Nah, keistimewaan Plecing Kangkung ini terletak pada jenis kangkungnya yang khas Lombok, dan cita rasa sambalnya yang pedas. Meskipun sama-sama kangkung, tetapi kangkung dari Lombok ini bisa tetap renyah walaupun sudah matang direbus. Anehnya, jika bibit kangkung dibawa keluar daerah Lombok dan ditanam, hasilnya tidak renyah seperti di daerah asalnya. Inilah yang membuat para ibu-ibu yang senang memasak, tidak sungkan-sungkan membawa kangkung mentah dari mataram dan bahan dasar sambal-nya untuk dijadikan sebagai oleh-oleh khas dari Lombok.

Bagaimana dengan Anyang Pakis di Asahan? Tampaknya mimpi Anyang Pakis naik kelas menjadi Plecing Kangkung dan Ayam Taliwang seperti di Lombok masih memerlukan proses pewacanaan [diskursus] yang panjang di Asahan. Diperlukan keinginan politik yang kuat dari pemerintah untuk menggali potensinya menjadi bagian dari kekayaan wisata kuliner di Asahan. Selain itu, masyarakat Asahan juga perlu mulai membiasakan diri berfikir dan bertindak kreatif menciptakan ikon-ikon wisata kuliner di Asahan secara swadaya, sehingga dapat mengisi kekosongan inovasi dari Pemerintah Kabupaten. Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi bagi semua fihak di Asahan untuk mengambil tindakan nyata dalam menggali dan meningkatkan wisata kuliner di Asahan. [Tim Seputar Asahan]
Baca Selanjutnya......

Jumat, 04 September 2009

Sepatu Bunut Riwayatmu Kini...

[Bagian Pertama]
SeputarAsahan:08/09/2009: Lebaran sebentar lagi, anda butuh sepatu baru? Belilah produk dalam negeri asli buatan bangsa sendiri. Slogan ini mengingatkan kita akan sebuah momentum buka-bukaan sepatu oleh salah seorang calon presiden RI dalam kesempatan kampanye dialogis di sebuah stasiun televisi swasta. Sepatu buatan Cibaduyut Bandung Ia jadikan sebagai simbol kebangkitan produk bangsa sendiri dan nasionalisme konsumen Indonesia. Tetapi, kita orang Sumatera Utara tidak perlu jauh-jauh ke Bandung, di Asahan juga ada produk sepatu kulit lokal yang tidak kalah mutunya dengan produk dari Cibaduyut, bahkan beberapa pengrajin mampu membuatnya dengan kualitas manca negara. Sepatu kulit ini dahulu konon merupakan produk pabrikan buatan USA, dan setelah puluhan tahun pabrik ditutup, para pengrajin ex karyawan pabrik sepatu kulit ini secara turun temurun terus mengembangkannya sehingga kini telah menjadi bagian dari karya industri khas dari Asahan.


Adalah daerah Bunut, salah satu daerah pinggiran Kota di Kecamatan Kisaran Barat, Kabupaten Asahan, selama ini menjadi sentra industri Sepatu Kulit berlabel "Bunut". Tentu saja ini menjadi salah satu kebanggaan kita sebagai warga Asahan, dan [harusnya] juga menjadi kebanggaan bansa Indonesia. Namun ironisnya Pemerintah Kabupaten Asahan tidak menempatkan "Sepatu Kulit dari Bunut" menjadi bagian penting untuk pengembangan potensi lokal di Asahan. Pemerintah Kabupaten Asahan tidak menjadikan industri rumahan Sepatu Kulit dari Bunut ini sebagai salah satu ikon potensi daerah dalam website Pemkab Asahan. Padahal, Malaysia misalnya, "dibela-belain" menjadikan Tari Pendet Bali dan Batik sebagai bagian dari potensi pariwisatanya, tetapi kita yang memiliki potensi lokal industri rumahan sepatu kulit dari Bunut dibiarkan hidup meranggas tanpa bantuan fasilitas yang memadai dari Pemerintah. Jangan sampai kelak Sepatu Kulit dari Bunut juga di klaim sebagai produk karya negara tetangga, dan persoalannya adalah apakah Pemerintah Kabupaten Asahan peduli dengan ancaman ini?

Ini menjadi keprihatinan Seputar Asahan, dan tentusaja [harusnya] merupakan keprihatinan kita bersama. Jika kita amati di sepanjang Jalan Sudirman, Bunut beberapa pengrajin lama yang memiliki "toko" sederhana berdinding papan [kayu], tampak seperti telah mati suri. Bahkan salah satu pengrajin yang memiliki toko keshohor di jamannya seperti misalnya "Egalite" dan "Bunut Shoes" harus menutup tokonya setengah hari karena sepinya pembeli. Pemerintah Kabupaten Asahan tampaknya tidak hanya kurang peduli, bahkan tidak cukup kreatif untuk mempromosikan potensi ini menjadi bagian dari kampanye cinta industri lokal dan pariwisata Asahan/ Tim Seputar Asahan. [bersambung]

Baca Selanjutnya......

Rabu, 02 September 2009

Kencing Rp.500 Berak Rp.1000..

Kisah Anak Rantau
Serba Serbi Perjalanan Perantau Asahan,
Suatu hari ketika aku pulang ke Kisaran dengan menggunakan jasa transportasi bis (ALS), ketika sampai di Rantau Parapat (5 jam sebelum Kota Medan) bis yang kutumpangi berhenti di salah satu rumah makan. Aku yang sejak beberapa jam yang lalu menahan buang hajat (berak), segera saja turun dan mencari toilet yang disediakan oleh Rumah Makan tersebut. Ketika memasuki ruang toilet, di depan pintu masuk tertulis "Kencing Rp. 500 Berak Rp. 1000".

Terus terang saja, uang dikantongku hanya tinggal Rp. 10.000, artinya aku hanya bisa menggunakannya untuk sekali makan (seharga 5000 - 7000) di Rumah Makan tersebut. Kalaupun aku harus membayar retribusi toilet (berak Rp. 1000), maka aku masih punya sisa uang Rp. 9.000. Ah cukuplah. Toh kampung halamanku tak jauh lagi dari Rantau Parapat (yakni Kisaran). Setelah selesai aku berak, betapa terkejutnya aku. Penjaga toilet yang sejak tadi mengawasiku meminta aku membayar Rp. 1.500.


Spontan saja aku protes. "Mas, aku kan hanya berak, kok harus seribu lima ratus ?" Kataku. orang yang ku panggil mas tadi ternyata seorang yang berdarah batak, dengan dialek batak ia menjawab : "Mas dari jawa ya ? Apa mas tidak tahu ? Di mana-mana mas, nggak di sumatera juga gak di jawa, semua orang yang berak pasti kencing. Makanya mas harus bayar seribu lima ratus!" Akupun terdiam dan terpaksa kukeluarka uang Rp. 1.500. Dalam pikiranku, aku yang bodoh atau orang batak itu yang cerdik? "Ah dasar Batak
, Banyak Taktik". Bisik hatiku kesal bercampur geli.

[catatan TarSan: Tulisan ini tidak bermaksud SARA, hanya bagian dari khasanah kekayaan budaya bertutur anak Asahan]
Baca Selanjutnya......

Minggu, 30 Agustus 2009

Kisah Salima dan Jarum Gantung....

[SeputarAsahan:30/08/09] Sejak dahulu Rumah Sakit Katarina, sekarang bernama Rumah Sakit Ibu Kartini, sudah sangat populer di telinga masyarakat Asahan. Keberadaannya sebagai rumah sakit rujukan bagi pasien-pasien “kritis” dari puskesmas di kecamatan seolah menjadikan Katarina sebagai RSUD kedua setelah Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran. Sebagai Rumah Sakit peninggalan Belanda, fasilitas dan peralatan medis Katarina memang relatif memadai. Oleh karenanya tidak heran kalau kemudian menjadi salah satu rumah sakit rujukan ketika itu. Pernah disatu masa pada era 80-an setiap menyebut Rumah Sakit Katarina, yang terbayang dibenak setiap orang adalah kata Salima dan Jarum Gantung. Entah sekarang, apakah kisah Salima dan Jarum Gantung itu masih melekat dibenak anak-anak Asahan?

Kisah Salima dan Jarum Gantung adalah bagian dari perjalanan sejarah budaya bertutur yang berkembang dimasyarakat Asahan ketika itu. Budaya yang telah membentuk idiom baru bernama "Salima" dan "Jarum Gantung". Idiom ini menjadi populer dan melekat dalam benak setiap orang ketika itu karena sangat berhubungan dengan pasien yang sakit keras dan sedang bertaruh nyawa. Pokoknya jika ada anggota keluarga atau tetangga yang masuk rumah sakit Katarina kemudian mendengar informasi tentang Salima dan Jarum Gantung, itu artinya mereka harus banyak berdoa dan menata hati, karena itu bisa berarti bahwa kondisi pasien sudah kritis dan sangat mungkin nyawanya tidak tertolong.

Jika boleh dibandingkan, popularitas kisah Salima dan Jarum Gantung ketika itu barangkali sama seperti halnya popularitas Jalan Gandhi di Medan. Anda orang Asahan atau Sumut tau kisah tentang Jalan Gandhi? Atau masih ingat tentang kisah itu? Mungkin sebagian besar dari kita sudah tidak ingat lagi. Baiklah, sekadar menyegarkan ingatan kita kembali, Jalan Gandhi adalah lokasi Kantor Laksusda di Medan. Sejak tahun 67-an sangat populer sebagai tempat penahanan [camp konsentrasi] tahanan politik, atau tentara-tentara yang dianggap tidak setia kepada Pancasila. Dari Jalan Gandhi ini banyak beredar cerita mulut kemulut tentang kerasnya perlakuan yang dialami tahanan ketika itu. Kerasnya kehidupan dalam Jalan Gandhi kemudian diabadikan dalam sebuah lagu rakyat yang juga beredar dari mulut ke mulut entah siapa penciptanya, sepenggal lirik yang diingat Seputar Asahan sebagai berikut..

Sudah berapa kali Abang katakan….
Jangan bermain cinta dengan Pereman…
Nanti Abang ditangkap oleh Polisi…
Lalu masuk Jalan Gandhi…
Kalau Abang masuk Jalan Gandhi..
Tangan digari badan dipukuli…
Sampai disana Abang disiksa lagi….
..dst

Kembali ke kisah Salima dan Jarum Gantung. Tentu Anda pembaca bertanya-tanya seperti apa gerangan kisah Salima dan Jarum Gantung itu? Ternyata Salima itu adalah kependekan dari "Bangsal Lima", ruangan [mungkin kelas 3] khusus untuk merawat pasien-pasien kritis. Adapun Jarum Gantung adalah kata lain dari botol infus yang digantung dan biasanya diletakkan di sebelah fasien. Inilah cara bertutur dari masyarakat kita yang sangat polos dan sederhana. Mereka tidak ambil pusing dengan ketepatan artinya dalam tata bahasa. Bagi mereka yang penting maksud dan pesan yang terkandung didalamnya tersampaikan. Penggunaan istilah "Jarum Gantung" misalnya, begitu kita mendengarnya memang mengesankan sesuatu yang menakutkan dan memberikan perasaan mencekam. Walaupun ternyata itu hanyalah untuk menggambarkan botol infus yang digantung. Padahal, infus-kan tidak selalu berhubungan dengan orang sakit keras dan kematian? Infus bisa berisi nutrisi biasa, bahkan kadang hanya berisi glukosa dan cairan untuk pasien yang mengalami dehidrasi [kurang cairan/minum]. Walaupun tidak mentutup kemungkinan juga infus itu berisi antibiotik keras seperti misalnya untuk orang yang sakit kanker.

Penyederhanaan "infus" menjadi "Jarum Gantung" adalah bagian dari kekayaan budaya bertutur masyarakat Asahan yang perlu di dokumentasikan. Sebab, dengan demikian kita bisa mengetahui sejarah perjalanan budaya bertutur masyarakat Asahan dari masa ke masa. Mari mulai sekarang kita kumpulkan, coba diingat-ingat, adakah bahasa atau istilah yang jaman dahulu sangat populer disekitar kita tetapi kini sudah sangat jarang kita dengar? Mulailah kita kumpulkan dan lestarikan kembali, karena itu adalah serpihan kekayaan budaya kita, jangan sampai tergerus jaman.

Untuk melestarikan kekayaan budaya bertutur masyarakat Asahan, peran serta masyarakat haruslah didukung oleh fasilitasi pemerintah. Sudah saatnya Pemkab. Asahan, dalam hal ini Dinas Pendidikan atau Pariwisata dan Budaya mulai perlu memikirkan dan mempertimbangkan untuk menyusun sebuah buku kompilasi yang berisi kumpulan idiom atau istilah-istilah lama yang menjadi bagian dari sejarah perjalanan budaya bertutur masyarakat Asahan dari masa ke masa. Buku kompilasi tersebut nantinya dapat diedarkan ke sekolah-sekolah di Asahan secara gratis untuk dipelajari sehingga dengan demikian generasi muda di Asahan tidak akan sampai tercerabut dari akar budayanya, setidaknya dalam hal budaya bertutur. [tim Seputar Asahan]
Baca Selanjutnya......

Kamis, 27 Agustus 2009

Misteri Gua di Bukit Katarina...

Cerita Rakyat Asahan
Oleh Ki Gendheng & Adi Sunarto
Dimuat Majalah Misteri
Edisi Desember 2007

Bukit Katarina adalah nama sebuah bukit kecil di kawasan Kelurahan Sei Renggas, Kec. Kisaran Barat, Kab. Asahan, Sumatera Utara. Lokasi ini tidak jauh dari RS. Ibu Kartini, dan berada di dalam areal HGU PT. Bakrie Sumatera Plantations (BSP) di tepi Sungai Silau. Oleh sebab itu, dibukit ini terdadapat tanaman pohon karet perkebunan milik PT. BSP. Nama bukit Katarina itu sendiri menurut cerita dari mulut kemulut diambil dari nama RS. Ibu Kartini yang dulunya sering disebut dengan nama RS. Katarina. Konon, untuk pertama kalinya dokter di RS itu bernama Dokter Chatherine yang ditugaskan dari negeri Belanda.

Jika dilihat sepintas, bukit Katerina merupakan gundukan tanah biasa yang tingginya mencapai kurang lebih 50 meter. Tempat ini sepertinya tidak terdapat hal-hal yang aneh atau luar biasa. Bahkan, ketika terjadi gempa Nias, Sumatera Utara pada malam hari, sekitar pukul 23.00 wib, beberapa tahun yang lalu, terdengar pula isu tsunami di wilayah Asahan. Tak ayal, bukit Katerina menjadi tujuan masyarakat Kisaran dan sekitarnya sebagai tempat mengungsi. Sehingga bukit tersebut penuh sesak dengan warga masyarakat. Padahal isyu tsunami hanya isapan jempol, yang sengaja dihembuskan untuk menciptakan suasana keruh dengan maksud agar masyarakat dilanda kepanikan.


Memang, tidak banyak yang tahu bahwa ternyata bukit Katerina menyimpan misteri yang hingga saat ini belum terpecahkan. Bagi seorang yang memiliki kemampuan spiritual linuwih, atau yang memiliki indera keenam, pasti akan meresakan sesuatu yang berbeda bila melawati temoat ini.

Menurut kisah yang sudah ada sejak turun-temurun, pada sekitar abad XVII, bukit Katerina adalah tempat bertempurnya panglima perang kerajaan Cina dengan Raja Maria Pane ke-7 dari Buntu Pane Asahan, bernama Datuk Daurung. Kemudian setelah bertarung adu kesaktian, tidak ada yang kalah dan menang, maka masing-masing mengeluarkan aji pamungkas, yaitu menjelma menajdi seekor ular naga dan ikan dundung. Keduanya lalu terjun ke sungai Silau. Mereka bertempur dengan mengandalkan kesaktian masing-masing. Akan tetapi, ular naga jelmaan Panglima Perang Cina dapat dipukul jatuh, tertusuk sanai (patil) dari ikan dundung jelmaan Datuk Daurung. Naga itu meraung-raung menahan sakit dan menggelepar, yang akhirnya terkulai hanyut dan terkapar di hilir sungai Silau tidak seberapa jauh dari bukit itu. Setelah ratusan tahun kemudian, menurut cerita secara turun temurun dan sudah menjadi semacam legenda di masyarakat, ular naga jelmaan Panglima Perang Cina siuman dari pingsannya yang cukup lama. Diiringi hujan lebat, petir sambung menyambung sehingga terjadilah banjir besar.

Kemudian ular naga tersebut berkisar-kisar (berenang-renang) dan menghanyutkan diri menelusuri Sungai Silau sampa sungai Asahan di kota Tanjung Balai). Selanjutnya menuju ke Selat Malaka.

Perkampungan di kawasan tempat naga berkisar tersebut akhirnya disebut dengan nama Kampung Kisaran Naga. Sekarang menjadi Kelurahan Kisaran Naga dan kota yang berada di dekat sungai Silau disebut dengan nama Kisaran, sebagai ibukota Kabupaten Asahan.
Memang, hingga saat ini tidak ada yang mengetahui secara pasti, kapan perkampungan itu mulai disebut dengan nama Kisaran Naga, demikian juga nama Kisaran.

Kembali ke bukit Katerina, Tim Jelajah Misteri mendapat penjelasan dari Sukino, seorang buruh kebun Tanah Raja yang pernah menjalani rawat inap selama 14 hari di RS, Ibu Kartini pada tahun 1971.

Sukini berkisah. Saat itu, kebetulan malam Jum’at. Dia bermimpi didatangi seorang laki-laki gagah perkasa berpakaian seragam kebesaran Cina. Kemudian diajak masuk ke istana di bawah bukit Katerina.

Bibir Sukino berdecak kagum karena istana tersebut sangat indah, diterangi lampu-lampu gemerlapan, dengan hiasan istana bertatahkan ratna mutu manikam.

Kepada Misteri, Sukino menceritakan. Dirinya disambut cukup hormat oleh punggawa dan dayang-dayang istana. Kemudian dipersilahkan duduk di atas permadani lembut. Distu talah tersedia pula bermacam ragam makanan yang tampaknya cukup lezat dan mengundang selera makan.

“Selama berada di istana gaib di bawah Bukit Katerina, rasanya saya tidak ingin pulang karena suasana di ruangan itu sangat indah dan nyaman. Apalagi didampingi wanita-wanita muda belia yang cantik rupawan,” cerita Sukirno.

Namun, ketika akan mengambil makanan yang terhidang, tiba-tiba seperti ada kekuatan gaib yang menarik tubuhnya ke luar dari istana. Di saat itulah, dia terbangun dan yang ada hanya ruangan rumah sakit yang sepi. Hanya ditemani beberapa orang pasien lain yang tertidur pulas.
Jam dinding menunjukkan 03.15 wib. Sukirno merasa bersyukur tidak sempat menyantap makanan di istana itu. “Jika tidak, mungkin saya akan terus berada di bawah bukit Katerina menjadi budak dedemit yang tidak lain adalah makhluk halus penjaga Gua Bukit itu,” tambahnya mengenang mimpi 36 tahun silam itu.

April lalu, Misteri bersama Adi Sunarto coba menelusuri lebih jauh kemisteriusan gua di bukit Katerina itu, dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana keangkerannya. Di perapatan Simpang Kartini, persisnya persimpangan jalan Lintas Sumatera menuju kota Pematang Siantar, kami berhenti makan di sebuah warung kecil. Tak lama kemudian, datang seorang lelaki tua yang kami taksir berusia hampir 80-an, singgah di warung yang sama. Bahkan kami diajak mampir ke rumahnya.

Tawaran kakek Samudi, demikian kami memanggilnya, untuk mampir, tentu tidak kami sia-siakan.

“Mungkin dari kakek tua itu kita mendapat informasi tentang misteri Bukit Katerina,” ujar Adi Sunarto.

Kakek Samudi mengendarai sepeda bututnya, sementara kami mengendarai sepeda motor menuju rumahnya.

“Bila sudah lihat rumah kecil berdinding papan, atap nipah dan di depannya ada pohon bunga kenanga, di sebelah kiri jalan, itulah rumah saya,” kata kakek Samudi sambil mengayuh sepedanya.

Sudah tentu kami melaju lebih dahulu meninggalkan kakek tua itu. Akan tetapi, kami tak habis pikir, setelah kami melihat sebuah rumah tua dan sederhana seperti dijelaskan kakek Samudi, ternyata orang tua itu sudah menunggu di depan pintu. Sepeda bututnya disandarkan di sebuah tunggul pohon kelapa di samping rumahnya.

Misteri dan Adi Sunarto hampir tidak percaya apakah yang ada di depan pintu adalah benar kakek tua itu adanya. Adi Sunarto membelokkan motornya ke rumah tua itu. Dan benar, yang sudah menanti kedatangan kami di depan pintu adalah kakek Samudi.

Misteri bertanya dalam hati, ilmu apa yang digunakan kakek tua itu hingga dapat mendahului kendaraan yang kami naiki? Sementara kami sendiri tidak melihat kapan dia mendahului kami.

“Silahkan masuk ke gubuk saya!” Ajak kakek Samudi mempersilakan.
Masih dengan rasa heran bercampur takjub, kami masuk ke rumah sangat sederhana berukuran 5x7 meter, dinding papan yang sudah lapuk, lantai tanah dan atap nipah itu
Di ruang tamu yang kecil dan sempit, ada sepasang kursi rotan yang reot, di depannya terdapat sebuah meja terbuat dari papan yang sudah mulai dimakan rayap. Kami memandangi beberap foto kusam terpajang di dinding.

Ketika kami tengah asyik melihat foto sepasang pengantin sedang duduk di pelaminan, kakek Samudi tiba-tiba berujar, “Itu gambar kami sewaktu jadi pengantin.”

Tanpa peduli pada keterkejutan kami, dia lalu duduk sambil meletakkan tiga gelas air putih. Untuk menutupi keterkejutan kami, Adi Sunarto memuji foto kakek Samudi sewaktu masih muda. “Dulu waktu mudanya, kakek ganteng juga ya?” Kata sahabat Misteri itu.
Orang tua yang disebut dengan nama Samudi hanya tersenyum sambil mempersilahkan kami minum.

Hampir satu jam kami berbincang-bincang dengan kakek Samudi sekitar cerita Bukit Katerina. Dari kakek itu, kami mendapat keterangan bahwa bukit itu pernah dijadikan tempat pemujaan orang-orang Cina dengan membangun tapekong dipuncaknya, karena memang dianggap keramat dan memiliki daya magis cukup kuat.

Menurut kakek Samudi, di bawah bukit itu terdapat gua di dalam air berbentuk bangunan kuno. Tapi kakek tua ini tidak dapat menjelaskan tahun berapa gua itu mulai ada.
“Yang pasti goa itu sudah lama ada di sana!” Katanya.
“Apa kakek sudah pernah masuk ke gua itu?” Tanya Misteri.
Kakek Samudi mengerutkan keningnya yang keriput, lalu menjawab; “Saya pernah melakukan tapa brata di dalam gua itu, Nak, selama 40 hari,” ujarnya. Kakek tua yang mengaku datang dari Jawa Timur ke Sumatera Utara sebagai kuli kontrak itu, juga menceritakan bahwa pernah terjadi seorang laki-laki mati terbunuh di bukit itu. Tapi tidak diketahui siapa pembunuhnya. Laki-laki yang terbunuh dengan sangat mengenaskan. Kepalaya dipenggal hingga terpisah dari badannya.

Mendengar cerita kakek Samudi tentang orangmati terbunuh itu, Misteri teringat ketika suatu malam dibulan Suro tahun 2005, seorang penjual bandrek jatuh pingsan di samping gerobak jualannya.

Setelah sadar, dia menceritakan bahwa dia telah didatangi oleh orang yang ingin membeli bandreknya, akan tetapi alangkah terkejutnya karena di keremangan malam itu, dia hanya melihat orang itu hanya kepalanya saja tanpa badan.

Menjelang maghrib, kami baru keluar dari rumah gubuk kakek Samudi. Sebelum kami pamit, kakek tua itu berkata, “Kalau kalian mau menengok gua tadi, besok kalian bisa datang lagi supaya dapat melihat dari dekat. Tapi kalian tidak bisa masuk ke dalam gua itu tanpa saya. Karena gua itu cukup angker,” ujarnya.

Keesokan harinya, seperti yang dijanjikan kakek Samudi, kami kembali berangkat ke rumah si kakek tua. Jujur saja, kami sangat tertantang dengan pengakuannya yang katanya sanggup menunjukkan gua di bawah bukit Katerina itu.

Akan tetapi, keanehan menimpa kami. Ketika tiba di kelurahan Sei Renggas, kami seperti orang kebingungan. Bagaimana tidak? Rumah kakek Samudi yang kemarin kami kunjungi tidak ada lagi di pertapakannya.

“Mungkin kita tersesat!” Kata Adi.
“Tak mungkin! Karena jelas sekali ini rumahnya, ditandai ada tunggul pohon kelapa di depan rumahnya,” jawab Misteri.

Akhirnya kami memutuskan untuk menanyakan kepada penduduk yang tinggal tidak jauh dari tempat kami mampir kemarin. Kami semakin bingung, karena menurut penjelasan salah seorang penduduk, selama ini tidak ada rumah di kawasan itu dan tak ada seorang kakek bernama Samudi. Jadi, siapa sebenarnya kakek itu? Sungguh mengherankan!
Dengan perasan kecewa bercampur heran, kami kembali dan memutuskan untuk mencari tahu tentang keberadaan Bukit Katerina yang masih mengandung misteri. Menjelang Dzuhur, kami sudah berada di bukit itu. Biarlah tak dapat masuk ke gua kaerna kakek Samudi tidak ada, asalkan bisa mengambil gambar mulut gua itu.

Adi Sunarto sudah standby denga kameranya menjepret Bukit Katerina dari jalan Lintas Kisaran-Pematang Siantar. Lalu kami turun sedikit melihat bibir sungai Silau untuk melihat gua di bawah bukit itu.

Akan tetapi, mulut gua itu tidak dapat kami lihat dengan jelas, karena bibir gua dari seberang sungai (dari Desa Tanjung Alam). Perjalanan dari Bukit Katerina ke Desa Tanjung Alam memakan waktu sekitar 20 menit.

Di Dusun II Desa Tanjung Alam, kami bertemu dengan Hartono yang dapat menunjukkan tempat yang strategis untuk dapat mengambil foto mulut gua dibawa bukit Katerina itu, karena lebar sungai hanya sekitar 30 meter saja.

Selain mengambil foto, terjadi peristiwa yang cukup aneh. Dalam keadaan antara sadar dengan tidak, kawasan di sekeliling tempat kami berdiri seketika berubah menjadi gelap. Kemudian perasaan kami digandeng oleh seorang laki-laki misterius berjalan di atas air sungai dan dalam tempo cukup singkat, kami telah sampai di mulut gua di bawah Bukit Katerina.
Misteri dan teman tak habis pikir, mengapa kami bisa berjalan di atas air seperti layaknya berjalan di atas tanah? Setibanya di pintu gua, orang tua misterius itu membawa kami masuk ke dalam gua yang gelap dan dingin.

Lelaki tua itu segera menyalakan obor yang diambil dari dinding gua. Cahayanya menyinari ruang di dalam gua itu. Kami sangat terperanjat, ketika dari sinar obor itu kami lihat wajah lelaki tua misterius itu ternyata adalah kakek Samudi.

Tanpa berkata-kata sedikitpun, kakek Samudi membawa kami mengelilingi gua yang dingin itu. Di sudut gua, kami melihat ada dua sinar bulat berwarna kuning keemasan. Bau harum menusuk hidung. Kakek Samudi yang berjalan di depan segera duduk bersila di hadapan sinar tersebut dan tanpa diperintah, kami mengikuti gerakan kakek tua misterius itu.
Ternyata sinar tersebut adalah sepasang mata dari sosok makhluk bermahkota yang duduk di atas altar batu. Tampaknya seperti kepala seekor ular besar. Rasa takut mulai timbul menyusul bulu roma kami yang berdiri tegak.

Kakek Samudi mulai buka bicara, “Ampun Paduka, dua orang ini adalah cucu hamba yang ingin mengetahui keberadaan gua ini. Mohonlah Paduka dapat memaafkan kelancangan mereka.” Entah mengapa, kakek Samdi menyabut makhluk itu dengan panggilan paduka.
“Ya, aku tahu sejak kemarin ada orang ingin tahu tentang gua ini. Tapi maksudnya baik,” jawab makhluk itu dengan suara berat menggetarkan ruangan gua. Bahkan, kelelawar hitam yang bergelantungan didinging gua berhamburan keluar, sambil bersuara gemuruh memekakkan telinga.

“Apa yang kalian cari?” Makhluk aneh itu bertanya kepada kami.
Adi Sunarto memandangi Misteri sejenak, kemudian memandangi wajah kakek Samudi. “Ampun, Paduka! Mereka berdua tidak mencari atau menginginkan sesuatu. Cucu hamba ini hanya ingin memastikan bahwa di bawah bukit ini memang benar ada sebuah gua, jadi mereka meminta hamba untuk membawa mereka kemari,” jawab kakek Samudi.
Gua di dalam air, di bawah bukit itu terasa semakin mencekam. Udara semakin dingin menusuk sumsum.

Makhluk aneh itu kembali bersuara. “Baiklah, akan tetapi jika ingin datang lagi, kalian harus membawa sesaji satu ekor ayam jantan berbulu wulung (hitam mulus), ari-ari dari bayi laki-laki yang lahir hari Jum’at Kliwon dan bunga macan kerah.

Ayam dan ari-ari, kalian cemplungkan ke air sungai Silau dan ketika itu kalian akan sampai ke mulut gua ini. Kemudian taburkan bunga macan kerah ke pintu gua dan dayang-dayangku akan mempersilhakan kalian masuk.” Ujarnya panjang lebar.

Tak lama kemudian, sinar mata makhluk itu meredup dan padam. Gua kembali menjadi gelap. Kakek Samudi memberi hormat, lalu berdiri dan berjalan menuju mulut goa. Kami mengikutinya dari belakang.

Anehnya, kami tidak sadar kapan kakek Samudi membawa kami keluar gua dan menyeberangi sungai seperti tadi, saat kami pergi.

Yang pasti, tiba-tiba saja kami sudah berada di seberang sungai, tempat kami tadi mengambil foto mulut gua itu. Bahkan yang tak kalah aneh, kakek Samudi pun tak ada bersama kami lagi.
Dalam kebingungan, kami mengingat-ingat pesan makhluk aneh tadi. Kalau ayam jago wulung dan kembang macan kerah amat mudah kami peroleh. Akan tetap tentang ari-ari jabang bayi laki-laki yang lahir pada hari Jum’at Kliwon, disamping sangat sulit juga tidak mungkin kami bisa mencarinya.

Matahari telah condong ke barat, sebab tanda hari sudah sore. Kami pun bergegas pulang dengan membawa pengalaman spiritual yang tak mungkin bisa kami peroleh lagi di tempat lainnya. Namun, ada sedikit penyesalan, mengapa kami tidak menanyakan kepada kakek Samudi siapa atau makhluk apa yang bersemayam di dalam gua di bawah bukit itu?
Misteri juga terlupa tidak menanyakan siapa sebenarnya kakek tua misterius yang mengaku bernama Samudi itu?

Hingga kini, gua di Bukit Katerina dan kakek Samudi tetap menjadi misteri yang entah kapan dapat terungkap.



Baca Selanjutnya......

Senin, 24 Agustus 2009

Mutiara Dalam Kumuhnya Kota...

[SeputarAsahan:24/08/09] Di jaman Rasulullah, Masjid tidak hanya menjadi tempat beribadah, tetapi sekaligus juga merupakan pusat pendidikan, pengembangan kebudayaan dan pergerakan sosial. Revitalisasi fungsi Masjid sebagai pusat pengembangan pendidikan dan kebudayaan saat ini seharusnya semakin relevan, bahkan mendesak untuk dilakukan. Ditengah terpaan sekularisme dan deraan angin kebebasan [liberalism], Masjid bisa jadi merupakan benteng terakhir untuk mempertahankan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Oleh karena itu, sebuah masjid memiliki arti yang sangat penting sebagai jaring pengaman budaya dan peradaban umat manusia. Bebrapa waktu lalu Seputar Asahan menyempatkan diri hanging out [jalan-jalan] di Kota Kisaran. Tepat di depan Masjid Agung Kisaran mencoba mengambil gambar dengan kamera handphone sederhana. Betapa sulit mencari sudut yang tepat untuk mengambil photo Masjid Agung Kisaran. Dalam keterbatasan kamera handphone, Seputar Asahan akhirnya berhasil mengabadikan sepenggal photo Masjid Agung Kisaran seperti yang berada dihadapan Anda ini.


Ditengah-tengah Kota Kisaran yang terlihat semakin tua, tidak tertata dan bahkan terkesa kumuh, Masjid Agung bak mutiara memancarkan sinarnya. Masih seperti belasan tahun yang lalu, hanya batang-batang pohon palm raja yang tampak terus tumbuh. Upaya Asahan Budidaya Gaharu [ABG] menanam bibit pohon gaharu di halaman Masjid Agung beberapa waktu lalu telah memberikan harapan baru bagi pengembangan fungsi Masjid Agung, tidak hanya sebagai tempat ibadah Umat Islam di Kisaran, Asahan tetapi juga sekaligus sebagai "laboratorium konservasi". Bukankah ini juga salah satu peningkatan fungsi Masjid sebagai tempat untuk mengenalkan budaya cinta lingkungan ditengah ancaman global warming terhadap generasi penerus? Kita patut bersyukur dan memberikan apresiasi tinggi untuk Bapak Mujiono, Ketua Asahan Budidaya Gaharu yang memiliki kepedulian dan gagasan mulia tersebut. Sudah sepantasnya pula Pemerintah Asahan memberikan apresiasi dan memfasilitasi upaya-upaya warganya seperti ini.

Sebaliknya, area luar Masjid Agung Kisaran tampaknya tidak memberikan nuansa yang mendukung. Gedung-gedung Kota yang terlihat semakin tua, tidak tertata bahkan terkesan kumuh merupakan pemandangan yang sangat kontras dengan Masjid. Kisaran tampak seperti kota mati, dan seolah hanya tinggal Masjid Agung yang memancarkan titik kehidupan. Bagaimana tidak, Pemerintah Kabupaten sama sekali tidak mempedulikan tata estetika Kota Kisaran. Jalan Imam Bonjol tempat Masjid Agung kokoh berdiri, merupakan pusat kota Kisaran yang telah tumbuh berubah menjadi gedung-gedung bertingkat tanpa penghuni. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Asahan mengumbar ijin pembangunan gedung-gedung bertingkat untuk sarang burung wallet telah mengubah Kisaran menjadi kota yang mati suri, tidak lagi berkembang atau dikembangkan menjadi Kota yang tertata secara apik dan asri. Sampai sekarang Seputar Asahan masih bertanya-tanya bagaimana Pemerintah Pusat memberikan penilaiannya sehingga Kabupaten Asahan memperoleh Piala Adipura? Lihatlah contoh photo berikut ini yang diambil Seputar Asahan pada tanggal 13 Agustus 2009 lalu di depan Masjid Agung Kisaran. Tampak sekali Kota yang mengesankan tidak tertata dan cenderung terasa kumuh. Tetapi baiklah, tulisan ini tidak akan mengulas lebih dalam mengenai kondisi Kota Kisaran, karena Seputar Asahan akan mengulasnya dalam tulisan tersendiri pada edisi mendatang.
Kembali ke fungsi Masjid. Bagi Pemerintah Kabupaten Asahan, Takmir Masjid, dan umat muslim di Kota Kisaran, pengembangan fungsi Masjid Agung menjadi tantangan dan tugas penting pada masa akan datang. Mari kita bayangkan satu, dua, lima atau bahkan sepuluh tahun lagi. Masjid Agung Kisaran menjadi tempat berkumpulnya para generasi muda mengembangkan berbagai ilmu dan keahlian mereka. Perpustakaan Masjid dengan koleksi buku terlengkap menjadi sumber referensi Mahasiswa dan Ilmuan yang ingin menulis serta para peneliti mengangkat kembali sejarah kebudayaan melayu Asahan. Aula Masjid menjadi tempat berdiksusi berbagai masalah sosial budaya dan pembangunan di Asahan, pusat pergerakan sosial untuk mengontrol dan mengawasi pemerintahan yang zalim dan korup di Asahan. Di areal sekitarnya, toko-toko buku hasil tulisan ilmuan Asahan dijual, pernak-pernik sovenir khas Asahan seperti rajutan sajadah dari kapas, rangkaian tasbih dari bahan cangkang lokan, dan anyaman peci dari rotan, serta jajanan-janana khas Asahan dijual dengan kemasan yang rapi dan menawan setiap pengunjung untuk membelinya sebagai oleh-oleh khas Asahan.


Bayangkanlah, berawal dari revitalisasi fungsi sebuah Masjid, nantinya taraf ekonomi masayarakat sekitarnya juga akan terangkat sedemikian rupa. Sehingga kita tidak lagi perlu membangun gedung tinggi berharga milayaran rupiah hanya untuk "tidur" burung walet yang tidak jelas hasilnya bagi peningkatan pendapatan daerah. Dengan demikian, secara berangsur-angsur Kota Kisaran akan ditata kembali menjadi kota sebenarnya kota yang asri, estetis dan bersahaja. Ini bukan mimpi, tetapi cita-cita yang sangat mungkin menjadi nyata jika kita umat Islam di Asahan, apakah itu Ulama, Umarah maupun Ummat pada umumnya bahu mambahu berjuang untuk mewujudkannya. Jadikanlah Ramadhan kali ini untuk meletakkan pondasi harapan tersebut [Tim Seputar Asahan].



Baca Selanjutnya......

Jumat, 21 Agustus 2009

Bukan Onggokan Bethon Belaka...

[SeputarAsahan:21/08/09] Tugu Perjuangan ini terletak di pertemuan ujung Jalan Cokroaminoto dan Imam Bonjol Kisaran. Jika kita memandang dari jarak 10-20 meter, pengelihatan akan terganggu dengan semerawutnya kabel-kabel telpon yang simpangsiur di atasnya. Sebagai Monumen, tugu Kisaran ini seharusnya memiliki fungsi informasi tentang heroisme pejuang kemerdekaan di Asahan dalam mengusir penjajah. Namun Tugu ini dari dahulu tidak pernah mengalami peningkatan fungsi kecuali sebagai onggokan tiang bethon yang tegak berdiri di ujung jalan. Ada baiknya Pemerintah Kabupaten Asahan melakukan restorasi Tugu Kisaran sehingga fungsinya sebagai sumber informasi sejarah perjuangan masayarakat Asahan dapat dirasakan generasi penerus. Kecuali kalau kita secara sengaja ingin memutus informasi sejarah tersebut sehingga generasi penerus Asahan kelak mengalami kebutaan sejarah dan tidak mengenal heroisme leluhur-leluhurnya di Asahan. [Tim SeputarAsahan]. Baca Selanjutnya......

Rabu, 19 Agustus 2009

Hutan Kota Menunggu Jadi Nostalgia....

[SeputarAsahan:19/08/09]: "Disini akan dibangun Hutan Kota". Demikian antara lain bunyi tulisan yang terpampang di areal seluas 14 HA ex HGU PT.BSP Kisaran yang jaraknya hanya 100 meter dari Kantor Bupati Asahan. Hutan Kota yang sudah dicanangkan lebih kurang dua tahun lalu, kondisinya kini terlantar.Pohon-pohon mahoni bantuan Menteri Kehutanan yang ditanam ketika itu kini tinggalah onggokan hijau yang terus berpacu dengan semak belukar. Hutan Kota terancam menjadi nostalgia dari sebuah usangnya gagasan yang tidak pernah menjadi nyata.


Padahal, jika kita masih ingat, dalam hitungan hari yang lalu Kabupaten Asahan memperoleh Piala Adipura. Jika Piala Adipura merupakan penghargaan untuk pemerintahan daerah yang mampu menciptakan serta menjaga kebersihan dan lingkungan kota yang asri (teduh), melihat kenyataan ini masihkah pantas Asahan memperoleh Adipura? Pemerintah Kabupaten Asahan perlu melakukan refleksi diri mengenai hal ini. Sebagai sebuah ide, harus diakui bahwa gagasan Hutan Kota merupakan terobosan yang cerdas dan seharusnya perlu dilanjutkan pembangunannya oleh siapapun yang meneruskan pemerintahan.

Jika Pemerintah Kabupaten Asahan nantinya masih ingin meneruskan pembangunan Hutan Kota ini, ada baiknya konsepnya di tata ulang. Hutan Kota tidak cukup diposisikan sebagai alun-alun saja, ia haruslah memberikan values added atau nilai tambah yang tinggi bagi penanaman idealisme pelestarian alam bagi masyarakat di Asahan, dan sekaligus memberikan manfaat sebagai pengembangan pariwisata, atau lebih dikenal dengan istilah ecotourism. Konsepsi seperti ini sebenarnya telah sangat berhasil diterapkan oleh seorang Bupati dari sebuah Kabupaten terpencil di Propinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Kabupaten Alor. Jika kita berkunjung di Alor, Pemerintah atau bahkan Bupatinya langsung akan mengajak setiap tamu resmi Bupati yang berkunjung untuk menanam sebatang pohon di Hutan Nostalgia. Arealnya ditata secara rapih, dan di setiap batang pohon disematkan plakat jenis tanamannya dan nama bahkan alamat orang yang menanamnya. Dinamakan Hutan Nostalgia karena memang akan memberikan kenangan tersendiri bagi tamu-tamu yang datang di Kabupaten Alor. Ketika beberapa tahun kemudian mereka berkunjung kembali ke Alor, mereka akan rindu untuk bernostalgia, melihat kembali tanaman yang dahulu pernah ditanamnya di Hutan Nostalgia. Tanah Alor-pun menjadi bagian nostalgia dari kehidupan setiap tamu-tamu yang pernah berkunjung. Jadi, jangan heran jika di Hutan Nostalgia kita akan akan menemukan nama-nama pejabat penting, sampai dengan Presiden bahkan warga negara asing tersemat di sebatang pohon yang dahulu pernah ditanamnya.

Adalah Ir.Angsgerius Takalapeta, Bupati Alor yang sudah menjabat dua periode kepemimpinan di Kabupaten Alor sebagai penggagas Hutan Nostalgia tersebut. Selama kepemimpinannya ia telah memprakarsai penanaman pohon tidak lebih dari 7.612.150 batang pohon di seluruh wilayah Kabupaten Alor, terdiri dari kenari, jambu mete, mahoni, kopi, kusambi, cendana, jati manila, mangrove, gmelina, sengon, kemiri dan tanaman langka lainnya. Hutan Nostalgia di Kabupaten Alor merupakan bentuk kreasi cerdas seorang Bupati Angsgerius, dan ini adalah satu-satunya di Indonesia.

Kita, warga Asahan juga punya Bupati yang sama-sama memimpin selama dua periode, tetapi kenapa di Kabupten Alor yang notebene daerah terpencil pada Propinsi Nusa Tenggara Timur itu bisa lahir gagasan cerdas dan birillian, tetapi di Asahan tidak? Sudah sepantasnyalah Bupati Asahan meniru best practice (contoh praktik keberhasilan) Bupati Alor dalam mencanangkan Hutan Kota dengan konsep ecotourism seperti itu? Ketimbang Hutan Kota dibiarkan terlantar, ada baiknya mulai sekarang, ditata ulang, sediakan bibit tanaman langka, plakat nama, serta petugasnya. Apalagi di Asahan sudah ada Asahan Budidaya Gaharu yang menyediakan bibit-bibit gaharu untuk tabungan masa depan anak-anak Asahan. Ini tentu saja perlu dilestarikan. Oleh karena itu, mari ajak setiap tamu kedinasan yang datang dari Luar Asahan untuk menanam sebatang pohon di Hutan Kota atau lebih tepatnya Hutan Nostalgia, atau Hutan Memori, atau apapun itu namanya, agar esok atau lusa mereka memiliki kerinduan untuk berkunjung kembali ke Asahan.

Keterangan Photo:
Photo 1: Areal Hutan Kota Kabupaten Asahan, sumber; Seputar Asahan
Photo 2: Piala Adipura Asahan, sumber; Seputar Asahan
Photo 3: Kunjungan Kepala Pusat Perpustakaan Nasional ke Hutan Nostalgia, sumber: http://www.pnri.go.id/





Baca Selanjutnya......

Minggu, 09 Agustus 2009

Inilah Jalur Durian Asahan...

Durian, satu lagi buah musiman yang banyak juga kita jumpai di Asahan. Musim panen raya atau dalam istilah orang Sumatera sering disebut "banjir" biasanya antara bulan Juli-Agustus. Meskipun demikian, buah durian tetap bisa kita jumpai di Asahan diluar bulan Juli-Agustus pada sepanjang Jalan Lintas Sumatera [atau lebih populer dengan sebutan Jalinsum], hanya saja harganya sedikit lebih mahal. Jika kita berjalan dari Medan, setelah keluar Kabupaten Batubara memasuki wilayah Asahan sampai menuju kantor Bupati Asahan, di sebelah kanan jalan kita akan menemukan deretan pedangang durian musiman. Harganya juga relatif lebih murah daripada durian sejenis yang kita temukan di daerah Kalibata Jakarta.

Selanjutnya kita masuki Kota, di Jalan Ckoro Aminoto juga sudah mulai ada lapak-lapak durian, terus masuk ke Kota, antara lain di Jalan Rivai dan Pajak [kata lain dari Pasar] pada bulan-bulan musim durian seperti sekarang ini akan banjir durian. Kalau kita pintar, belilah pada tengah malam ketika durian baru tiba, maka akan lebih banyak pilihan buah durian yang bagus dan berkualitas [dalam istilah orang Asahan; cantik-cantik] dan harga yang masih murah. Terus kita telusuri keluar Kota Kisaran, kembali ke arah Jalinsum memasuki Sentang Kedai Ledang, kiri jalan di depan Kantor Pajak itu ada pedagang durian yang juga menjual durian enak berkualitas dengan harga terjangkau. Selanjutnya terus telusuri Jalinsum melewati Sentang Palang, dekat rel kereta api sebelah kanan jalan juga akan kita temukan pedagang durian. Masih dalam Jalinsum, memasuki Sentang SPMA setelah Galon Pertamina [kata lain dari Pom Bensin] di kiri jalan juga ada pedagang durian yang tidak kalah menggoda rasa. Dari Sentang SPMA memasuki Pasar Mereng, Kebon Sungai Dadap jalan terus mendekati Hessa Air Genting, atau tepatnya daerah Kampung Pisang sebelah kanan jalan di bawah pohon Kelapa sawit itu juga gudangnya durian enak dan murah..

Jika dilihat dari padatnya jalur pedagang durian di Asahan, tidak diragukan lagi bahwa selain penghasil kelapa kopra dan coklat, Asahan juga merupakan salah satu sentra penghasil durian. Namun, meskipun demikian jangan harap kita akan menemukan tempoyak [durian yang dipermentasi sebagai bahan dasar sambal] dan lempok [semacam dodol durian dengan bahan dasar daging durian murni], atau bahkan dodol durian sebagai oleh-oleh dari Asahan. Bandingkan dengan di Palembang, Jambi atau Bengkulu, yang telah meningkatkan nilai tambah durian dari buah menjadi makanan khas bernilai jual tinggi dengan mengolahnya menjadi Tempoyak dan Lempok. Mereka telah melakukan proses diverisfikasi buah durian sehingga nilai ekonomisnya meningkat dan memberikan tambahan penghasilan masyarakat.

Di Palembang, Jambi juga Bengkulu, Lempok dan Tempoyak telah menjadi oleh-oleh makanan khas yang dicari dan digemari turis lokal dari Jakarta. Atau tidak usah jauh-jauh membandingkan dengan Palembang, Jambi dan Bengkulu, di Pasar Bengkel Deli Serdang, dodol durian juga menjadi jajanan khas oleh-oleh primadona turis lokal yang lewat. Ada baiknya Pemerintah Asahan meniru Pemerintah Deli Serdang yang memfasilitasi pusat jajanan oleh-oleh khas dodol durian di Pasar Bengkel. Atau mengambil inspirasi dari Pemerintah Bengkulu dan Palembang yang telah meningkatkan nilai ekonomis dengan mengolah durian menjadi makanan oleh-oleh khas bernama Lempok dan Tempoyak. Seharusnya Asahan bisa lebih maju kalau pemimpinnya jujur, amanah dan kreatif mensejahterakan rakyatnya!

[sumber photo atas: http://www.sumutcyber.com/; photo tengah http://www.mediaindonesia.com/webtorial/tanahair/?ar_id=NDU3; photo bawah http://1.bp.blogspot.com/]



Baca Selanjutnya......

Jumat, 07 Agustus 2009

Anyang Pakis, Kuliner Khas Asahan Tinggal Musiman...

Anyang Pakis, masakan Sumatera Utara ini juga menjadi salah satu kuliner khas di Asahan. Anyang Pakis sangat lezat disantap begitu saja tanpa nasi karena memang bukan tergolong jenis sayur. Anyang Pakis sebetulnya mirip makanan khas di Jawa yang bernama urap. Hanya saja Anyang Pakis menggunakan bumbu kelapa yang disangrai seperti serundeng. Bumbu dasarnya juga mirip bumbu urap, yaitu bawang merah, serai, daun jeruk, dan ketumbar. Semuanya dihaluskan lalu disangrai bersama kelapa.

Sepuluh tahun lalu Anyang Pakis menjadi menu yang sangat mudah dijumpai. Tetapi, seiring jalannya waktu, Anyang Pakis kini tinggalah makanan musiman. Kita hanya akan menjumpai Anyang Pakis pada saat musim Bulan Puasa. Sangat jarang atau bahkan sangat sulit kita menemukan Anyang Pakis selain di Bulan Puasa. Jika Bulan Puasa tiba, pusat jajanan Ramadhan di Kota Kisaran pasti menjadikan Anyang Pakis sebagai salah satu menu khas. Selain Anyang Pakis, kita dapat menelusuri wisata kuliner barbagai macam ragam masakan Sumatera Utara yang juga menrupakan kuliner khas Asahan. Anyang Pakis antara lain dapat kita temukan di pusat jajanan Ramadhan di jalan Rivai, Jalan Imam Bonjol [depan Masjid Raya Kisaran], dan Simpang Enam.

Pontensi Anyang Pakis untuk dikembangkan sebagai salah satu kuliner khas Asahan sangatlah besar. Karena, Pakis sangat mudah diperoleh ditengah-tengah hamparan kebun karet atau kelapa sawit yang tersebar luas di Kabupaten Asahan. Kelapa sebagai bumbu pendukung utama Anyang Pakis juga sangat mudah diperoleh, karena Asahan termasuk salah satu sentra penghasil Kelapa di Sumatera Utara.

Tetapi tampaknya potensi ini belum cukup digali oleh Pemerintah Kabupaten Asahan. Padahal, ini bisa menjadi salah satu sumber pendapatan bagi ibu-ibu rumah tangga yang mau mengembangkan keahlian meracik Anyang Pakis. Seperti halnya kalau kita jalan-jalan di NTB [Lombok] kita akan disuguhi Plecing Kangkung yang sangat khas. Pemerintah NTB berhasil menjadikan Plecing Kangkung sebagai salah satu kuliner khas Lombok, sehingga para turis lokal dari Jakarta tidak malu-malu membawa paket kangkung mentah dan bumbu plecing sebagai oleh-oleh khas dari Lombok.

Pemerintah Asahan perlu belajar benyak dari Lombok [Propinsi NTB] untuk mengubah Pakis dari tumbuhan liar menjadi oleh-oleh khas Asahan. Sehingga Anyang Pakis nantinya tidak lagi hanya menjadi makanan musiman yang akan dilupakan tergerus jaman..
[sumber photo:inforesepDotCom]



Baca Selanjutnya......

Kamis, 06 Agustus 2009

Adipura, Jangan Jadikan Simbol Pura-Pura...

Inilah monumen Adipura yang megah diberikan pemerintah pusat untuk Kabupaten Asahan. Letaknya tidak jauh dari Kantor Bupati Asahan. Piala Adipura adalah simbol bagi pemerintah daerah yang dianggap berhasil menjaga kebersihan kota. Program Adipura merupakan salah satu program strategis Kementrian Negara Lingkungan Hidup yang bertujuan mendorong Pemerintah Daerah dan masyarakat berperan aktif dalam mewujudkan kota yang bersih dan teduh. Tahun ini, Asahan kembali meraih Piala Adipura!! Tentu saja ini menjadi kebanggaan bersama warga Asahan. Namun, tidak berselang hari, kita disajikan suguhan ironi demi ironi! Setelah Piala Adipura didapat, Kisaran sebagai Ibukota Kabupaten Asahan mulai jorok, sampah menumpuk. Padahal sebelumnya kota Kisaran tampak bersih, namun hanya hitungan hari saja sampah limbah rumah tangga dan toko mulai berserakan di pinggir jalan protokol [sumber SIB 04/07/09]. Inilah potret buram masayarakat kita. Budaya bersih baru sebatas simbol untuk meraih Piala Adipura. Belum melekat menjadi bagian dari kehidupan yang harus tetap dipelihara. Lalu, masihkah kita berbesar hati? Pantaskah Asahan memperoleh Piala Adipura ditengah masih tumbuh suburnya budaya kotor dalam masyarakat dan pemerintahan di Asahan? Sadarkah kita warga Asahan yang mungkin selama ini terjebak pada budaya pura-pura? Kita baru sebatas pura-pura berbudaya bersih, dan Piala Adipura yang kokh berdiri itu hanyalah menjadi simbol kepura-puraan kita bersama.
Baca Selanjutnya......

Kelapaku Sayang, Kecamatanku Malang....

Asahan merupakan salah satu sentra perkebunan di Sumatera Utara. Komoditi perkebunan yang dihasilkan antara lain adalah Kelapa Kopra. Produksi tanaman kelapa di Asahan pada tahun 2006 mencapai140.428 TON dengan luas tanaman mencapai 35.357 HA [sumber: BPS]. Kecamatan Sei Kepayang dan Air Joman merupakan penghasil kelapa terbesar di Asahan. Kontribusi kedua kecamatan ini mencapai 76% dari total produksi kopra di Asahan. Ironisnya, dua kecamatan ini termasuk tertinggal di Asahan. Infra Strukturnya tidak terawat, bahkan terkesan dibiarkan hancur. Jalan sebagai sarana transportasi untuk mengangkut hasil-hasil produksi pertanian sebagian besar rusak tidak terawat. Demikian juga banjir yang terus melanda dua kecamatan ini, khususnya di Sungai Kepayang menjadi musibah rutin. Ini menjadi sebuah ironi...
Baca Selanjutnya......

Rabu, 05 Agustus 2009

Kisaran, Menuju Mati Tergilas Zaman...

Kisaran, Ibu Kota Kabupaten Asahan yang dijuluki kota kerang ini semakin hari semakin berkejaran dengan mondernisasi. Tidak adalagi sate kerang yang nikmat dijajakan pedagang di jalan, anyang pakis-pun tinggal hidangan musiman. Kisaran, corak ragam sosial budayanya kian tergerus oleh kuatnya roda perubahan. Angin kebebasan sudah lama menyapa di setiap sudut remang kota.... [tobe continued] Baca Selanjutnya......
Lihat Page Rank Blog Anda :
dipersembahkan oleh Page Rank Checker